Pondok pesantren dipandang lamban dalam merespon perubahan. Dulu, ketika film masuk pesantren, pro dan kontra begitu tajam. Hingga sekarang, hampir setiap pesantren akrab dengan kameratika.
Hal ini dipandang maklum, karena polarisasi ilmu begitu tajam di masyarakat. Antara ilmu agama dan ilmu umum, agenda sekularisme yang dulu digaungkan oleh Belanda masih sangat terasa. Pihak pesantren bertahan dengan subjektivitas, sementara pihak sekolah menjauh.
Tapi, kelambanan merespon perubahan tersebut adalah fenomena umum. Bukan saja akses internet yang lambat, bahkan kemajuan-kemajuan di bidang teknologi memang mendapat respon yang lambat. Padahal, banyak tenaga-tenaga potensial dari dalam negeri yang berkiprah di luar negeri dengan karir yang gemilang. Hingga muncul satu pertanyaan, “Kenapa kita selalu menjadi objek, tidak pernah menjadi subjek?”
Menggiring Potensi Positif
Teknologi sering memposisikan manusia sebagai objek ketika masuk ke dalam sebuah sistem, baik sistem sebuah permainan maupun sistem bisnis seperti MLM dan kartu kredit. Hampir semua orang dewasa seperti tergantung pada kartu kredit. Sementara anak-anak tergantung pada game online. Tentu, hal ini menggiring pada ekses-ekses negatif karena kesadaran subjektif sedikit berkurang.
Pada taraf permainan, tidak kurang dari 50 juta penduduk Indonesia yang terlibat dalam permainan game online ini. Menurut perkiraan Om John, penggagas olimpiade Mobile Legend di Indonesia, dapat diperkirakan dari sedotan kuota pengguna bisa mencapai 1,2 triliun perbulan. Artinya, penggunanya cukup banyak.
“Indonesia masih terlalu banyak ketakutan,” ujarnya, “dibandingkan dengan negara-negara lain. Padahal, di balik kesuksesan film Jurassic Park ada orang Indonesia yang berperan besar. Namanya Ade.”
Hari itu, Jum’at, 13/5/2022, Om John sengaja berkunjung ke Cirebon. Ingin menyaksikan pondok pesantren yang akan dijadikan lokasi Olimpiade Mobile Legend dari kalangan santri.
Keprihatinan muncul dari KH Uki Marzuki, tokoh muda pesantren, yang berminat dalam pengembangan olimpiade ini. “Efek ini tidak bisa dihindari oleh masyarakat, terutama kalangan pesantren,” ungkapnya. “Memang, secara formal, santri-santri dilarang memegang handphone di pesantren, tapi di balik itu banyak yang diam-diam melakukan permainan itu. Contohnya seperti menonton film. Dulu, setiap santri yang ketahuan menonton film akan terkena takzir, hukuman. Tapi, sekarang, baik santri maupun pengurus pesantren sudah banyak yang terlibat di dunia perfilman. Kita ambil sisi positifnya saja. Pengaruh yang tak dapat dibendung itu semestinya diarahkan secara benar. Dibuatkan olimpiade misalnya. Jadi, ada waktu-waktu tertentu yang diperbolehkan dan ada yang tidak, ketika masuk jam belajar.”
Tetap Sadar sebagai Subjek
Hari itu, Om John beserta tim berkesempatan mengunjungi Pondok Pesantren Bina Insan Mulia di Majalengka yang langsung disambut oleh pengasuhnya, KH Imam Jazuli. Suasana tampak riang gembira. Wali-wali santri berbaris dalam tawadu untuk sowan di hari libur, Jum’at. Mobil-mobil mewah berjejer di halaman parkir yang berjarak kurang lebih 70 meter dari lokasi pesantren. Di kolam renang yang disediakan di pesantren, tampak santri-santri putera sedang berlatih olahraga renang.
KH Imam Jazuli memberi waktu antara bulan September dan Oktober untuk penyelenggaraan event olimpiade tersebut. Ia menyambut dengan antusiasme dan tangan terbuka. Di akhir acara sowan Jum’at itu, ditutup pula dengan doa oleh KH Imam Jazuli yang diamini oleh semua santri dan wali santri yang ada di dalam ruangan.
“Dari beberapa kasus,” lanjut KH Uki Marzuki, “anak-anak yang kecanduan game online cenderung gampang emosional. Gampang marah. Kalau kalah bermain, handphone bisa dibanting atau malah melawan kepada orang tua.”
“Intinya,” jawab Om John, “anak-anak tetap perlu pendampingan. Jangan dibiarkan lepas, tanpa kontrol orang tua. Apapun itu kalau tidak digiring pada hal-hal positif akan berdampak negatif.
Ada kesenjangan antara generasi orang tua dan anak-anak. Dan, kita berperan menjembataninya. Mengkomunikasikan. Orang tua yang penuh keprihatinan dan anak-anak muda yang responsif. Sebenarnya, responsif tersebut cukup positif bagi anak-anak. Tapi, tetap dalam pengawasan dan pendampingan.”
“Ya, menghadapi era bonus demografi ini memang harus hati-hati. Ketika jumlah generasi usia muda jauh lebih banyak daripada yang berusia tua,” tutup KH Uki Marzuki. ‘Semua menjadi tanggung jawab bersama. Tapi, yang harus diingat, kita jangan selalu menjadi objek. Mereka yang berpotensi bisa digiring untuk lebih tekun menjadi pencipta. Kalau biasa bermain game online, diharapkan setelah kenal, mereka bisa menjadi pencipta game online. Itu sekadar contoh dari banyak bidang garapan.”
Cirebon, 13 Mei 2022.