Desa Jajar-Net26.id Imam Mukaryanto, Kepala Desa Jajar, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, terus melakukan inovasi-inovasi budaya.
Lelaki yang biasa disapa Mbah Ime atau Lurah Ime Kumbokarno ini memiliki visi yang akrab dengan tradisi desa seperti megengan “Jajar Gumregah”. Megengan adalah serangkaian acara bersih desa menjelang bulan suci Ramadhan. Masyarakat desa bersama perangkat-perangkatnya bahu membahu secara swadaya menghelat acara tersebut dengan optimisme dan antusiasme.
Kepala Desa yang sangat progresif ini juga senantiasa aktif di media-media sosial. Bukan bermaksud untuk pencitraan semata, lebih dari itu, media sosial merupakan sarana komunikasi paling efektif di zaman kekinian. Manakala masyarakat sudah lebih sering menjalin komunikasi melalui media sosial tersebut. “Tidak hanya bagaimana kita mengabdikan diri pada pelayanan fisik semata, maka dalam rangka transformasi digital, konsep dasar moderasi beragama juga menjadi titik tolak untuk mengedepankan desa sebagai hulu kebudayaan, tanpa menafikan kemanusiaan,” unggah Mbah Ime di akun Facebook miliknya, Kamis, 19/5/2022.
Melalui media sosial tersebut diharapkan akan terjalin komunikasi imbal balik, antara masyarakat dan pemerintah desa. Pemerintah akan cepat hadir dalam merespon kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Dan, di dalam berkomunikasi via media sosial tersebut, perlu juga teladan agama untuk meratifikasi budaya yang selama bertahun-tahun lestari. Desa sebagai hulu kebudayaan adalah entitas hubungan antar manusia yang hampir tidak berjarak seperti solidaritas dan rasa persaudaraan.
Dari entitas asli tanpa polesan tersebut, dapat pula budaya ditampilkan ke atas panggung-panggung seremonial. Tujuannya tentu bukan bermaksud untuk mendesakralisasi budaya yang bernilai religius, melainkan pula untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif. Bagaikan cermin, budaya yang ditampilkan di atas panggung dapat dilihat dari berbagai aspek-aspek sosial, agama, seni, bahkan lebih kurangnya sebagai koreksi di kemudian hari.
Dengan demikian, adaptasi dan transpormasi yang sedang berlangsung di masyarakat tidak semata menjadi objek, melainkan kebutuhan untuk sama-sama memperbaiki diri. Bagaimana dapat mengetahui kelemahan-kelemahan diri, jika tidak pernah ditampilkan?
Di zaman seperti saat ini, teknologi digital harus diposisikan secara lebih proporsional. Tidak dalam kerangka negatif seperti menebar ujaran kebencian yang dapat menimbulkan perpecahan antar sesama warga desa.
Kendati demikian, kehadiran teknologi digital adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan. “Maka hal ini bukan lagi masalah bagaimana kita beradaptasi dengan teknologi, tapi senyatanya kita sedang dikejar keniscayaan,” pungkas Lurah Ime.