Kesederhanaan Pak Salim
Akhir-akhir ini, sedang viral nama keluarga Pak Salim yang kebetulan berdomisili di kota kecil, tempat kami tinggal. Tepatnya, di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Madusari.
Desa Sumbermulyo mulanya adalah desa tertinggal, tapi kini mengalami kemajuan yang pesat berkat keluarga Pak Salim. Ketiga anaknya yang kerap muncul di koran, televisi, dan media sosial telah menggugah minat khalayak untuk mencari tahu tentang resep kesuksesan Pak Salim dalam mendidik anak anaknya. Kebesaran ketiga anaknya pun mencatut namanya sebagai orangtua yang dianggap sukses di kota kami. Padahal, selain lokasinya di daerah pegunungan, akses jalan menuju rumah Pak Salim pun lumayan jauh dari pusat kota. Masyarakatnya juga seperti masih jauh dari jangkauan cita cita sebagai keluarga harapan.
Di sela-sela obrolan ngopi bareng bersama beberapa sahabat lama, tiba tiba Gus Fadhil membahas kesuksesan keluarga Pak Salim. Pak Salim dan Bu Marliah adalah pasangan suami istri yang menikah 45 tahun lalu. Rasa penasaran itu dipicu oleh kondisi istri Gus Fadhil yang baru tiga minggu memasuki usia kehamilannya. Tidak cukup sampai di situ, Gus Fadhil lalu menanyakan seluk beluk keluarga Pak Salim pada Badri yang kebetulan masih satu kecamatan dengan Pak Salim.
“Eh, Bad, kamu, kan, tinggal di Kecamatan Madusari, kamu tahu nggak di mana rumahnya Pak Salim? tanya Gus Fadli dengan nada agak serius.
“Pak Salim siapa? Tempatku nama Pak Salim, ya banyak lah, apalagi satu kecamatan?” jawab Badri yang belum mengerti maksud pertanyaan Gus Fadhil.
“Itu, lho, Bad, bapaknya Kiai Tohir, pengasuh Pesantren Tullabul Ulum, katanya, sih, di Madusari dan kalau nggak salah desanya Sumbermulyo.”
“Oh itu, kalau kampungnya sih tau, karena jaraknya dengan kampungku sekitar setengah jam perjalanan. Tapi, jujur, aku juga belum pernah ke sana. Memang, ada masalah apa dengan Pak Salim?” tanya Badri, datar.
Bagi Badri, Pak Salim sebenarnya sosok yang sederhana di kampung Sumbermulyo itu. Rumahnya terletak di penghujung kampung, tergolong kecil, dan hanya terbuat dari kayu dan bambu. Ditambah, satu aula panggung di halaman depan yang hanya berukuran tidak lebih dari 4 x 6 meter.
Bermula dari rasa penasaran kami di warung kopi, maka kami berempat sengaja janjian untuk sowan ke rumah Pak Salim pada sore harinya. Dari selentingan kabar yang kami dapatkan, gara gara menantu jadi menteri, nama Pak Salim melejit dan viral di dunia maya. Betapa tidak, tiga anaknya yang lagi nge-hits kini menjadi “trending topic” hampir di setiap media massa.
Anaknya yang pertama, Kiai Tohir, adalah pengasuh sekaligus pendiri pesantren “Tullabul Ulum”, salah satu pesantren terbesar di kota kami. Pesantren Kiai Tohir jumlah santrinya mencapai lima belas ribu lebih, lengkap beserta fasilitas pendidikan, mulai dari taman kanak kanak hingga perguruan tinggi. Tak heran, besarnya pengaruh Kiai Tohir di masyarakat mengundang sejumlah politisi lokal maupun nasional menyempatkan sowan ke pesantrennya hanya sekadar untuk meminta restu dan dukungan, tak terkecuali calon presiden.
Mas Rahman, putra kedua Pak Salim, berprofesi sebagai pengusaha eksportir produk produk lokal. Kini, namanya ikut beken setelah membeli 50 persen saham salah satu perusahaan asing di negeri tetangga.
Sementara Mbak Nisa, putri bungsu Pak Salim, menekuni dunia pendidikan dengan menjadi dosen di salah satu kampus ternama di kota metropolitan. Sedangkan suami Mbak Nisa, Mas Bagus, di Kabinet Kerakyatan yang sekarang ini baru diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. Maklum, Mas Bagus dengan pangkat jenderalnya tergolong sukses dalam menapaki jenjang karir kemiliteran. Sebagai istri seorang menteri, aktivitas Mbak Nisa sangat padat, karena selain mengajar di kampus juga aktif di salah satu ormas terbesar di negeri ini.
Malam itu, kira-kira pukul 19.30 wib, aku ada janjian ngopi bareng lagi bersama teman teman lama saat di pesantren dulu. Gus Fadhil, putra Kiai Amin, sudah menunggu sejak setengah jam berlalu. Ia ditemani Dimas yang kebetulan baru pulang dari London yang sedang menyelesaikan studi S2 beberapa minggu lalu.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, sampailah aku di sebuah warung yang sudah disepakati. Aku pun memarkir motor matic andalanku, lalu mencoba celingak-celinguk mencari mereka di sekeliling warung, namun tak juga kudapatkan tanda-tanda batang hidung mereka. Maklum, malam minggu, warun lumayan ramai. Ah tapi biarlah, pikirku, lalu aku menuju kasir untuk memesan kopi dan makanan ringan sembari pencat pencet handphone untuk mencari tahu keberadaan mereka. “Hallo, di mana kalian? Ini aku sudah di tempat kasir,” tanyaku. Belum ada semenit pesanku langsung dibalas oleh Gus Fadhil, “Oh, iya, kita lagi di pojok paling ujung dekat musholla.”
“Oke, deh, tak kesitu,” jawabku, singkat.
Segera saja, aku berjalan ke arah mereka. Sampai di dekat musholla, aku berhenti sejenak untuk memastikan apakah betul mereka di sana. Oh, ternyata betul, ada dua orang yang duduk berhadap hadapan. Yang satu berpeci hitam, kemeja batik dan bersarung hitam, sementara yang satunya bercelana jeans, kaos putih, dan berkacamata. Nah, ini dia pikirku, melihat gaya duduknya, tak salah lagi kalau mereka adalah Gus Fadhil dan Dimas. Langsung saja kusapa dengan suara agak lantang.
“Assalamualaikum?” sapaku dengan riang gembira, karena bertahun-tahun memang kami tak bertemu.
“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka kompak, meski tanpa komando.
Seketika kami bersalaman lama, berpelukan seraya menepuk nepuk pundak, baik dengan Gus Fadhil maupun Dimas. “Alhamdulillah, piye piye kabare? Wah, tambah resik kowe, wis ono sing nyabuni, yo?” tanya Gus Fadhil dalam bahasa jawa.
“Alhamdulillah apik, Gus, sampean iyo, Gus, jik awet enom wae, wis wani wayuh ta? Hahaha…,” serentak kami tertawa ngakak di pojok warung itu.
Selang beberapa menit, Badri dan Nizar pun datang dan langsung menuju tempat kami duduk.
Karena pasukan bertambah, kami semakin asyik bercerita ngalor ngidul dengan penuh canda tawa. Kekonyolan kekonyolan saat kami di pesantren pun mendadak keluar semua. Kenangan kenangan kami dulu juga tak pernah usang untuk diceritakan kembali. Apalagi si Badri, juragan Bandeng yang nyaris tak pernah kehabisan bahan dengan kisah kisah humornya.
Kami berempat lalu menuju ke rumah Pak Salim. Badri yang memang tinggal di kampung sebelah langsung tahu lokasi yang akan dituju. Hanya saja, untuk memastikan rumah kediaman Pak Salim, Badri belum tahu persis karena memang jarang di rumah dan belum pernah silaturahim ke sana.
Pak Salim sudah terlihat tidak gagah lagi. Tubuhnya sudah membungkuk saat menerima kedatangan kami. Dia mempersilakan kami, lalu bertanya asal usul kami. Kami menjawab dan mulai melontarkan pertanyaan pula kepadanya.
“Hanya saja, sejak awal pernikahan dengan nenekmu itu, dulu, kami sama sama punya tekad untuk tirakat, Dik. Dan, tirakat itu memang kami niatkan untuk anak anak kami kelak,” ujar Pak Salim memulai ceritanya. Dia terlihat menghentikan kata-katanya sejenak sambil mengambil korek, lalu menyalakan rokok linting kesukaannya. “Tapi, kala itu, kami masih belum punya gambaran, Dik, kira kira tirakat apa yang bisa kami lakukan dan bagaimana caranya?
Aku mulai merenung beberapa hari dan coba berembuk dengan istri, akhirnya kami sepakat untuk sowan ke kiai kiai pesantren, tempat dulu kami menimba ilmu.
Setelah sampai di ndalem kiai, kami pun mengutarakan maksud kami dan meminta ijazah pada beliau.
Dari sembilan kiai yang kami sowani, hanya dua amalan yang sanggup kami lakukan. Pertama, puasa Daud. Puasa Daud itu puasa selang seling, sehari puasa dan sehari tidak. Ijazah puasa Daud ini kami dapatkan dari Kiai Sobirin, pengasuh pesantren Nurul Huda, Karang anom, kala itu. Beliau menyarankan kalau bisa dilakukan minimal dua tahun, syukur syukur bisa lebih,” kata Pak Salim sembari bercerita panjang lebar tentang keutamaan puasa Daud. “Alhamdulillah, sampai sekarang, kami masih diberi kekuatan untuk puasa Daud. Waktu itu, kami hanya bisa menjawab dalam bahasa Jawa, ‘Injih Yai, Insyaallah. Pangestunipun panjenengan.’ Aku dan nenekmu itu, dulu, kan, sama sama pernah di pesantren? Yah, namanya santri, sampean tahu sendiri, kan? Kalau santri itu rata rata melarat, nggak punya uang! Hehehe….” Pak Salim tertawa terkekeh kekeh saat menyebut kata “melarat” dengan intonasi penuh penekanan. Merasa senasib dan seperjuangan, kami pun ikut tertawa lepas.
“Kami sama-sama sadar, bahwa kami tidak akan bisa berbuat banyak untuk melakukan perubahan di masyarakat, akhirnya langkah itu yang kami lakukan,” kata Pak Salim, mendesah.
“Ayo ayo diminum dulu kopinya!” ajak Pak Salim mempersilakan kami sembari nyeruput kopi cangkir di depannya.
Kami berempat tak menolak.
Pak Salim melanjutkan ceritanya kembali. “Terus, ijazah yang kedua ini yang mengamalkan Mbah putrimu itu. Dia kalau malam baca surat Al Fatihah 41 kali untuk anaknya. Ya, tinggal dihitung saja, anakku, kan, tiga, ya berarti 41 dikali tiga.
Hanya saja Mbah puterimu itu kalau baca Fatihah suka sak karepe dewe, kadang sambil ngglethak (tiduran), sambil masak, malah kadang sambil nonton tv.”
“Memang, boleh, ya, Pak?” sela Badri dengan rasa penasaran.
“Ya, memang pesan dari Kiai Abdullah dulu begitu. Boleh dilakukan sambil melakukan aktivitas yang lain, yang penting jangan pas di kamar mandi.
Pasti tidak ada persiapan apapun untuk bekal saatnya nikah, ya nikah aja. Saya tidak punya bekal dan skil apa-apa waktu itu. Sejak awal pernikahan, kami sama-sama punya tekad.
Di sela sela cerita Pak Salim, aku teringat obrolan di warung kopi, ketika tiba tiba Badri bertanya pada Gus Fadhil. “Gus, istriku, kan, sudah telat tiga minggu, setelah tadi pagi aku antar ke rumah sakit ternyata positif hamil, Gus.”
“Alhamdulillah, wah, pinter juga kamu bikin anak,” timpal Gus Fadhil.
Aku senyum senyum sendiri dengan pikiran melayang.
“Saya juga tidak pernah membayangkan kalau anak anak saya kok dianggap pinter pinter, padahal orangtuanya hanya wong bodho, wong ndeso tur mlarat,” kata kata Pak Salim menghentak lamunanku. “Itulah yang mungkin dikatakan oleh guru guru kami waktu di pesantren. Bahwa berkah itu memang ada dan itu semata-mata hanya pemberian dan rahmat Allah semata.
Jadi, sampai hari ini pun, kami tidak pernah menganggap bahwa anak anak kami yang katanya sukses adalah berkat upaya upaya kami, termasuk tirakat kami.
Tirakat itu menurut kami, ya, hanya sebagai sarana untuk berdoa kepada Allah, mudah mudahan apa yang kami lakukan mendapat rida dariNya. Karena, kami juga tidak pernah berdoa untuk anak kami supaya jadi kiai atau pengusaha, sama sekali tidak. Kami hanya berdoa agar tirakat kami diridai lalu diberi pahala yang banyak. Dan, pahala itulah yang kami kirimkan untuk anak anak kami.
Ya Alhamdulillah, dengan cara begitu rahmat dan berkah dari Allah benar benar turun melalui anak anak kami yang sekarang bisa memberikan manfaat untuk minimal orang orang di sekitarnya.
Kenapa saya katakan itu rahmat dan berkah? Ya, karena menurut akal saya tidak mungkin bisa terjadi meskipun saya harus banting tulang siang dan malam untuk mencetak anak anak kami seperti itu.
Maka, beberapa kali gubuk ini mau dibangun oleh anak anak, kami pun tidak pernah mau. Karena kami sudah berusaha untuk ikhlas memberikan semuanya untuk anak-anak. Jika memang mereka ada kelebihan rezeki, kami sarankan untuk kemakmuran tetangga sekitar kami. Akhirnya, mereka sepakat untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki jalan aspal yang sudah rusak, membangun pasar, sekolahan, dan terakhir kemarin perpustakaan di kampung kami.
“Lalu, bagaimana pak Salim bisa menyekolahkan anak-anak sampai jenjang S3 seperti Mbak Nisa itu, yang gelarnya Doktor?” tanyaku, menyela.
“Hehehe.., tidak sehebat itu. Kami membiayai sekolah mereka hanya sampai SMA saja, itupun bukan SMA umum, tapi hanya Aliyah pesantren. Jadi, biayanya murah. Kalau SMA umum, mungkin, ya, ndak kuat, Mas. Wong mereka dulu sekolahnya tidak begitu serius kok, yang dipentingkan malah pelajaran pelajaran pesantrennya, baik kitab kitab kuningnya maupun menghapal Al Quran.”
“O, gitu, ya, pak, tapi, kok, bisa sehebat itu ya?” tanya Badri.
“Yah, begitulah uniknya pesantren.”
“Berarti, tiga tiganya di pesantren, ya, Pak?” tanyaku, lagi.
“Iya. Malah, si Tohir itu di pesantrennya sejak usia 5 tahun. Kalau Rahman sama Nisa setelah MI, baru ke pesantren.”
“O, wajar saja sekarang jadi kiai besar,” gumam Badri.
“Kalau Mas Rahman, Pak? Dulu, bapak apa juga ajarkan tentang ilmu ilmu pengusaha kepada Mas Rahman?” lanjutku.
“Ya, tidak. Tapi, saat dia masih SD, kami hanya sempat mengajari sebatas prinsip prinsip orang berjualan. Saya pernah pesan kepadanya bahwa orang berjualan itu kuncinya jujur biar berkah. Lalu, membiasakan ramah saat melayani pembeli. Selain itu, Rahman itu memang ulet dalam mengerjakan sesuatu. Misalnya, dulu pernah ada PR dari gurunya untuk menempelkan gambar gambar yang paling menarik menurut dia.
Mungkin, dasar dasar itulah yang akhirnya dia kembangkan. Rahman itu mudah bergaul dengan siapapun. Jadi, temannya di pesantren dulu, kan, banyak? Hampir di setiap daerah Rahman itu punya teman, mulai dari yang senior sampai yang paling yunior.
Rahman hanya berjualan di kampung. Orang orang kampung di sini punya uang kalau panen saja. Di luar panen, mereka banyak yang ngutang nanti bayarnya pas panen itu. Dan seterusnya.”
Trenggalek, Mei 2019.