Pendahuluan
Berbicara tentang pesantren sama seperti tentang diri sendiri. Sesuatu yang sebenarnya tidak asing. Karena, pesantren hidup dan tumbuh dari kedirian suku-bangsa Indonesia. Pesantren bukan hadiah. Pesantren adalah aset masyarakat. Hasil dari jerih payah dan refleksi sejarah-budaya yang panjang. Dari masa ke masa, pesantren terus mengalami metamorpose guna menyesuaikan diri dalam merespon perubahan zaman.
Pesantren selalu menarik perhatian. Sudah banyak penelitian dan buku yang ditulis mengenai model pendidikan tertua di Indonesia ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sebagaimana Martin van Bruinessen secara khusus menulis buku dari hasil penelitiannya pada 1984, Kitab Kuning, Pesantrena dan Tarekat.
Sejarah pesantren tidak bisa terlepas dari akar tradisi masyarakat bangsa Indonesia par excellence, karena tumbuh dari kebutuhan masyarakat akan tempat dan sarana ibadah yang memadai. Dari tempat dan sarana tersebut, kegiatan ibadah, belajar dan mengajar, serta ketertiban hukum dan adat berlangsung. Ada imam salat yang tetap, pembagian zakat dikelola oleh marbot dan mesjid, pusat pendidikan dan pengajaran ilmu (baik khusus maupun umum), serta kepatuhan terhadap pemimpin spiritual yang diyakini memiliki implikasi ideologis bagi masyarakat.
Secara terminologi, kosakata pesantren tidak dijumpai di dalam kamus bahasa Arab. Pada masa dahulu, penyebutan pesantren tidak terlepas dari nama tempat pesantren itu berada: seperti Pesantren Tebuireng yang terletak di Dusun Tebuireng, Pesantren Krapyak di kampung Krapyak, serta Pesantren Kajen di Desa Kajen.
Sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran, pesantren memang sudah ada sejak lama. Sebelum formalisme pendidikan-sekolah dikenalkan oleh Belanda, ketika intelektualisme belum mengenal sekat sekat strata dan kapitalisasi. Secara sukarela, masyarakat memberikan sumbangan sumbangan demi kelangsungan proses belajar dan mengajar di pesantren tanpa pamrih, sehingga tercermin keikhlasan antara guru dan murid. Guru memberikan ilmu sementara murid menjaga kelangsungan hidup pesantren. Sementara sang guru sendiri berdagang selain Bertani atau berkebun. Namun, proses modernisasi telah mengenalkan profesionalisme sebagai balasan dan imbalan atau “nilai”, jasa, sehingga keikhlasan bukan menjadi ukuran. Di dunia pesantren, keikhlasan menjadi salah satu standar moral guru dan murid. Hal ini sesuai dengan makna murid itu sendiri yang berarti ”orang yang berkehendak”. Seorang murid harus memiliki kehendak sendiri untuk belajar dan berguru kepada orang yang diinginkannya. Orang yang dikehendaki tersebut memiliki ragam penyebutan pula: kiai, tuan guru, inyiak, ungku, atau tengku. Dikehendaki karena memiliki pemahaman dan pengamalan ilmu ilmu secara lahir dan batin.
Sebagai lembaga pendidikan yang sudah berakar di masyarakat Indonesia, pesantren memiliki nama tempat yang berbeda di tempat yang berbeda. Di Aceh, pesantren dikenal dengan sebutan dayeuh; di Sumatera Barat dikenal dengan nama surau; sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan sebutan langgar atau tajug di Jawa Barat. Dayeuh, surau, langgar, atau tajug adalah nama-nama tempat yang difungsikan untuk beribadah (mushalla atau masjid). Dalam cerita-cerita tradisi lisan masyarakat Minangkabau, surau memiliki ciri khas tersendiri sebagai tempat pendidikan mental anak-anak untuk hidup mandiri, lepas dari kedua orangtua. Biasanya, diajarkan pula ilmu bela diri di samping mencari nafkah sendiri.
Di tempat tempat tersebut, anak anak muda, khususnya paralelaki, belajar mulai menginap, tidak tidur di rumah, sebelum mengenal asrama atau jumlah orang yang belajar (santri atau siak) masih sedikit. Karena, tidak sesakral seperti di mesjid yang harus suci dan bersih dari najis. Asrama dikenal setelah jumlah orang yang belajar kian bertambah banyak, sehingga memerlukan tempat penampungan yang lebih besar. Di samping, untuk keperluan-keperluan lain seperti memasak atau mandi. Penamaan asrama atau tempat menginap orang-orang belajar itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan pesantren. Di Jawa Tengah sebutan asrama itu dikenal dengan nama gothaan, sementara di Jawa Barat dikenal dengan sebutan kobongan.
Dengan demikian, mencari akar sejarah pesantren dapat dilihat dari kebiasan yang berlangsung di kehidupan masyarakat. Dari kehidupan di dayeuh, surau, langgar, atau tajug, Ketika proses belajar mengajar dan kemandirian ditempa. Demikian itu dinamakan pola pendidikan tradisional.
Pesantren mengalami proses formalisasi pendidikan sejak Belanda mengenalkan sistem sekolah yang disekat dengan ruang ruang klasikal. Pada sistem sekoah dan klasikal ini, pola pengajaran sudah menggunakan kurikulum.
Pola klasikal pertama dengan menggunakan kurikulum menurut beberapa catatan dimulai di Pesantren Tebuireng, ketika KHA Wahid Hasyim mengenalkan pola Nidhamiyah (Sistemik). Sedangkan di Sumatera Barat dimulai di Pesantren Tawalib, Padang Panjang. Namun demikian, jejak sistemasi pola pendidikan yang termanifestasi ke dalam bentuk sekolah, kelas, dan kurikulum dapat dilacak dari modernisasi pendidikan tradisional. Ketika sistem pengajaran yang semula sangat sederhana dilakukan di tempat tempat ibadah atau di rumah pribadi berpindah ke tempat khusus dengan diberi sekat sekat ruangan dan pengelompokan grup belajar.