Masyarakat Turats
Sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran, pesantren telah melahirkan banyak pelajar, baik melalui metode warisan (turats) atau metode yang telah menggunakan sistem kurikulum. Mohammed Abed Al Jabiri di dalam kitabnya, At-Turats wal Hadatsah, lebih suka menggunakan istilah demikian par excellence sebagai masyarakat pewaris. Masyarakat yang mewarisi peradaban yang pernah hadir. Sebagaimana peradaban lebih tepat diartikan sebagai sebuah kehadiran (hadlarah). Menurut Al Jâbirî, turats adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Turats adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.
Metode tradisional yang digunakan oleh pesantren biasanya terlebih dahulu mempelajari ilmu ilmu alat. Ilmu ilmu alat (gramatika) di sini, terutama Nahwu dan Sharaf, berfungsi untuk memudahkan cara membaca huruf Arab gundul (tanpa harakat). Pada tingkat lanjut, diajarkan pula ilmu sastra (balaghah) dan logika (manthiq). Terakhir, akan diajarkan Alfiyah Ibn Malik. Kitab pungkasan dalam mempelajari ilmu ilmu alat yang berisi syair syair kaidah tata bahasa Arab (gramatikal). Cara transformasi ilmu ilmu alat tersebut melalui metode menghafal. Bait bait syair yang memuat kaidah kaidah tata bahasa Arab tersebut dihafal oleh masing masing pelajar. Di samping menghafal dan mempelajari ilmu ilmu alat tata bahasa Arab, pelajar pelajar juga dikenalkan dengan kitab kitab tafsir Al Quran, fiqh, tauhid, dan akhlak. Kitab kitab elementer ini berisi tentang tafsir tafsir Al Quran praktis, fiqh fiqh, dan akhlak terapan.
Pada zaman dahulu, tiap tiap pesantren secara sederhana tidak memiliki pelajar pelajar yang banyak. Bisa terdiri dari lima orang, sepuluh orang, dua puluh orang, atau bahkan satu orang. Dan, tia tiap guru (kiai) akan mengampu satu bidang ilmu khusus dan spesialis. Ada yang khusus mengajarkan fiqih saja, tafsir saja, atau ilmu alat saja. Sehingga pelajar pelajar yang ingin mendalami ilmu pengetahuan yang dimilikinya tidak akan berpuas diri pada satu pesantren saja. Mereka akan berpindah pindah dari pesantren ke pesantren yang lain sesuai dengan guru spesialis yang diminatinya. Dengan demikian, maka tidak heran, jika kemudian dikenal dengan sebutan santri kelana. Santri yang menuntut ilmu berpindah pindah pesantren guna memperdalam ilmu yang telah dikuasai. Bagi pelajar-pelajar yang berlatar belakang ekonomi cukup (biasanya dari kalangan bangsawan) setelah selesai belajar kepada guru guru pilihannya akan melanjutkan pendidikannya di kota suci Mekah.
Di kota suci Mekah, terdapat beberapa guru (syekh) yang menempati posisi khusus sebagai imam besar di Masjid Haram. Seusai menunaikan salat-salat wajib (maktubah), guru-guru tersebut membuka pengajian kitab khusus yang diikuti oleh pelajar pelajar dari berbagai negara. Guru-guru dari Nusantara yang pernah mengampu kajian kajian kitab khusus tersebut diantaranya adalah Syekh Khatib Al Minangkabawi, Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Mahfud Al Tarmasi, dan lain-lain.
Di dalam tradisi, keilmuan pesantren sangat diutamakan ada garis transformasi (sanad) yang bersambung dari generasi ke generasi. Apabila dirunut garis transformasi tersebut akan bersambung hingga kepada sumber utama, Rasulullah saw. Hanya saja, teori teori yang mengemukakan garis transformasi ini muncul beragam dari peneliti peneliti sebelumnya.
Dengan demikian, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran yang tumbuh di masayarakat Indonesia. Pertumbuhan pesantren mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Sejarah pertumbuhan ini diawali dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di surau surau, langgar langgar, tajug tajug, dan mushalla mushalla. Sementara masjid sebagai pusat pengajaran, pendidikan, dan penyelengaraan hukum agama bagi masyarakat muslim memiliki hubungan relasi yang lebih besar terhadap pemerintahan resmi, baik pada masa kerajaan maupun setelah Indonesia merdeka. Mesjid menjadi sarana pemersatu ketika dibutuhkan untuk menghindari dan menyelesaikan perbedaan perbedaan pandangan dan paham yang diusung oleh sebuah pesantren. Sebab, untuk kasus kasus di daerah tertentu terdapat juga aliran dan organisasi yang heterogen.
Pada masa kerajaan prakemerdekaan, pemerintah meletakkan tenaga tenaga ahli adiministrasi negara ke dalam pengaturan penyelenggaraan kegiatan keagaaan di masjid masjid, baik diangkat sebagai pegawai pemerintah atau oleh masyarakat di sekitanya. Pada masa ini, pegawai pegawai tersebut ada yang digaji langsung oleh pemerintah atau digaji yang diambil dari kas masjid. Mereka mendapat gelaran lebai di Sumatera atau modin di Jawa. Mereka bertugas untuk menangani masalah masalah hukum keagamaan seperti akad nikah, penunaian zakat-infaq-shodaqoh, maupun persengketaan di antara umat Islam. Mereka memiliki kepandaian khusus di bidang administrasi negara, meskipun terkadang juga tidak menguasai hukum hukum agama. Persoalan hukum biasanya akan dibantu oleh sesepuh masyarakat yang lebih menguasai ilmu ilmu khusus agama, kiai. Pada masa pemerintahan setelah merdeka (dari Hindia Belanda), tenaga tenaga administratif tersebut akan dibekali dengan surat resmi sebagaimana sertifikasi.
Dengan demikian, pengertian pesantren secara kronologis peristiwa sejarah yang melatarinya dapat dikatakan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran tradisional yang tumbuh dari kebutuhan masyarakat akan sarana dan prasarananya. Pusat pendidikan dan pengajaran tersebut dilandasi oleh spirit ibadah dengan merepresentasi (hadlir) pada tempat ibadah: mushalla, langgar, surau, atau tajug. Masjid sebagai sentra terbesar energi dan spirit pendidikan dan pengajaran tersebut melandasi berdirinya sebuah pesantren.