Pada perjalanan itu, kami mengambil penerbangan dari Grozny Airport. Kami hanya membawa dua buah tas berisi pakaian. Tidak ada barang berharga yang kami bawa. Kinya tak lepas menggandeng tanganku. Wajahnya tegang. Sementara aku tertimpa depresi dan sering buang air kecil. Sengaja, kami berpamitan pada kedua mertuaku di rumah dan tidak memperbolehkan mereka mengantar hingga bandara. ”Biar Kinya belajar dewasa!” kataku, menenangkan ibu mertuaku.
”Jaga dia baik-baik, nak!”
”Pasti. Aku tak akan melepaskannya,” kataku, meyakinkan.
Di dalam pesawat pun, Kinya masih terlihat tegang. Tangannya tak lepas memutar tasbih, seraya mulut tak henti berkomat-kamit. Aku membiarkannya sesaat. Lalu, menarik wajahnya menatapku.
Mata kami bertemu.
Aku mengumbar senyum. Sedikit mendekat, aku berbisik. ”Yakinlah, kita akan semakin disayang olehNya.”
”Kalau boleh tahu, apa yang sedang mas pikirkan sekarang?” tanyanya.
”Merasa dekat kepadaNya. Lalu, dirimu sedang memikirkan apa?”
”Ibu, bapa, kakak, semua….”
”Aku akan berusaha keras setelah kita pulang nanti. Kita carikan jodoh buat kakakmu, juga pekerjaan. Hilangkan keraguanmu! Yakin, ini jalan terbaik bagi kita dan keluarga.”
Perjalanan udara itu menelan waktu empat jam lima puluh menit. Singgah di Ankara, lalu ke Jeddah.
Kaki Kinya gemetar ketika menapaki tanah. Ia canggung, tak setegar ketika menjadi Duta Budaya. Ada dua puluh orang peserta rombongan. Sedikit berdesakan, kami mengantri mengambil tas. Sebuah bus penjemputan mengantarkan kami ke Mekah.
Aku langsung mengambil air wudu dan salat dua rekaat, tanda syukurku, telah dapat berziarah ke tanah haram. Kinya mengikutiku. Tak henti, aku dan Kinya membaca tasbih dan salawat. ”Sayang,” panggilku.
”Iya, mas.”
”Niat kita beribadah. Pusatkan konsentrasi untuk beribadah! Jangan memikirkan ingin banyak belanja atau kegiatan yang mengalihkan kekhusukan kita,” nasehatku.
”Iya, mas. Akan selalu kuperhatikan,” jawabnya.
Semenjak bertemu dengannya. Jantungku selalu berdebar. Setahun lalu. Meski hanya sebentar.
Kinya masih terliat lemas. Jetlag perjalanan masih menguasai dirinya. Namun tidak. Ia seperti masih termenung. Ia berlutut di hadapanku. ”Maafkan aku, mas!” katanya, mencium lututku.
”Inilah arti pernikahan kita, sayang,” ujarku, menghibur. Lalu, mengangkat dagunya.
”Aku lemas,” katanya.
”Aku juga. Entah, kenapa begini?” kataku, seraya menggiringnya ke tempat tidur. Di dalam pelukku, napasnya menderu pelan. Aku mencium rambutnya dan memejamkan mata. Kami pun tertidur.
Kinya masih di dalam dekapanku, ketika ia terjaga.
Aku membuka mata dan mengeratkan pelukan.
”Mas, sudah sore. Kita belum salat,” katanya.
”Iya, kita mandi, lalu keluar mencari sesuatu,” kataku.
Setelah salat, kami menelusuri jalanan kota Mekah menuju Masjid Haram. Aku dan Kinya coba mempelajari jalan yang menghubungkan antara hotel dan Masjid Haram. Dari balik tenda, sekilas, aku mengenali sesosok tubuh. Aku coba mengingat-ingatnya. Tapi, postur itu sangat akrab. Otakku bekerja keras untuk mencari jawab. Aku tak berani menyapanya, karena takut salah. Aku segera menarik tangan Kinya. ”Kita pulang, sayang, hampir maghrib. Kita salat di hotel saja dulu. Hingga esok, kita akan memulai ibadah,” kataku.
(Bersambung)