Mekah
Berkat bantuan seorang teman, tiket kami untuk menunaikan ibadah umrah cepat terurus. Kinya tampak sibuk menyiapkan perlengkapan.
”Tidak usah terlalu repot, bawa saja seadanya,” kataku, kepadanya.
Ia menatapku sebentar. Tubuhnya membungkuk di antara tumpukan pakaian yang teronggok di pembaringan. ”Tapi, mas?” sanggahnya. Panggilan “mas” itu menjadi kesepakatam kami untuk mengingat asal usul tanah kelahiranku. Dan, Kinya justeru sangat antusias dengan kesepakatan itu.
”Kita akan beribadah. Bukan, plesiran, bawa saja barang yang diperlukan!” ujarku sambil menatap mata kecoklatannya yang sedang menagih jawaban. Hidung mancung ras Arab itu terlihat kembang kempis.
”Tidak banyak,” katanya, kemudian, ”hanya beberapa pakaian penting saja.” Kinya lalu melangkah ke dapur. “Sarapan, yuk!” ajaknya.
Aku mengikuti langkahnya, dan merangkul pinggangnya. ”Sarapan apa kita?” tanyaku.
”Mau sarapan apa?”
”Mmm, apa ya?” kataku, melirik. ”Aku mengikuti seleramu.”
Kinya melangkah mendahuluiku. Dengan lincah, tangannya mengambil telur dan terigu. Mengambil mangkuk kecil, lalu dicampurnya dua bahan itu dengan irisan daun bawang bombai. Ia mengocok, lalu menggoreng di atas tungku.
Aku duduk di balik meja memperhatikan. Kinya tak sadar, aku memperhatikannya. Aku membiarkannya bekerja di depan tungku.
Aku teringat saat ia pernah memblokir WA-ku. Belum pernah aku tanyakan kenapa alasannya. Yang kutahu, mungkin ia sedang tidak ingin diganggu atau belum dapat menerima kehadiranku. Yang kuingat pula, Kinya selalu memosting gambar yang menjawab perkataan-perkataanku di lembar WA-nya. Sampai ia memblokir setelah aku mengirimkan satu fotoku dan dirinya. Entah, gelagapan atau kenapa, belum kutanyakan.
“Mas, makan,” katanya, menggugah lamunanku.
”Ya,” jawabku, sembari menarik piring. Aku memakannya dengan saos tomat. Hidupku menjadi sangat teratur setelah kehadirannya. Aku tak pernah telat makan. Semua kegiatanku diatur olehnya. Tak seperti biasa, ketika masih sendiri.
Di hadapannya, aku memandangi.
Kinya masih menghabiskan sisa gorengan terigu di piring. Dia berhenti setelah melihatku. ”Kenapa, mas? Ada yang lucu padaku?” tanyanya. “Atau…, ada yang salah?”
Aku menggeleng. Tatapanku menembus matanya. Aku ingin menyelami hatinya yang tak pernah kutahu itu.
Kinya membalas. Kami tenggelam dalam tautan yang panjang. Gelombang dan badai tiba-tiba menggelora di dadaku. Dalam gairah, kami bisa sangat lama. Dan, ketika lelah, kami pun bisa terlena.
”Kenapa, mas?” tanyanya, lagi. “Tatapanmu sangat tajam dan membiusku.”
Aku melempar senyum. ”Aku cinta padamu,” jawabku, singkat.
Kinya menundukkan kepala. ”Kenapa mas selalu bertingkah begini? Aku jadi kikuk,” katanya. ”Bukankah mas sudah mendapatkan segalanya dariku?”
”Antara fiksi dan non-fiksi itu beda-beda tipis, sayang,” kataku, melerai. Aku kembali tersenyum. ”Fiksi itu nyata. Senyata dirimu kini ada di hadapanku.”
”Tapi….”
Aku telah meredam ucapannya, setelah berada di dekatnya. Setelah lepas. ”Tak ada tapi-tapian,” jawabku, singkat. ”Kau tahu, dadaku selalu bergelora, ketika dirimu berbicara padaku.”
”Itu biasa.”
Kembali, aku memeluk erat Kinya. “Aku selalu ingin memelukmu seperti dirimu yang selalu tak ingin kehilanganku.”
Kami kembali tenggelam dalam pagutan-pagutan lembut dan hangat.
”Kenapa dirimu menghindariku dulu?” tanyaku, seraya mengangkat dagunya.
Sejurus wajah Kinya menatapku. Dia tertawa kecil.
“Kok, malah tertawa? Aku serius,” kataku.
”Kau lucu. Seharusnya dirimu bertanya pada dirimu sendiri. Kenapa bertanya padaku?”
“Kenapa begitu? Aku bertanya padamu. Kau yang menjawab.”
”Sudah kukatakan, tapi kau tetap bodoh.”
”Karena bodoh, aku bertanya.”
Kinya mendorong tubuhku perlahan. Ia mengambil kursi dan duduk. ”Kau membuatku tertekan,” katanya.
Diam.
”Pikiranku belum sampai waktu itu. Aku tak mau diganggu. Aku berusaha konsentrasi belajar. Aku coba mengadu kepada kedua kakakku, tapi mereka malah menertawakanku.”
”Tapi, nyatanya?”
”Nyatanya, aku mencintaimu. Diam-diam.”
Aku mendesah. “Aku juga bersalah terlambat memahamimu.”
”Tidak ada yang terlambat, karena memang membutuhkan proses. Aku butuh waktu, sementara dirimu butuh kesabaran. Tak ada cinta tanpa amarah. Marahku berarti juga cinta.”
”Aku telah menyakitimu.”
”Tidak. Aku yang sebalik telah menyakitimu.”
”Aku telah membuatmu tertekan.”
Kinya menggeleng.
”Selesaikanlah dulu kuliahmu! Aku ingin kau menyelesaikan S2 dan S3. Sesuai cita-citamu ingin menjadi dosen. Suku-bangsa Chechen sangat mememerlukan orang pintar sepertimu.”
“Iya, mas,” jawab Kinya dengan senyum simpul.
“Sekarang, kita siap-siap untuk ibadah umrah. Kita berbulan madu di sana.”
Mata Kinaya berbinar. “Mas,” pekiknya, seraya menyeretku ke tempat tidur. Dia menghujaniku dengan ciuman. Di telingaku, ia berbisik, ”Engkau telah membuatku gila, mas.”
Aku diam.
Kinya memeluk erat. ”Selama ini, aku terlalu sombong pada dirimu. Kini, aku sungguh baru mengerti. Dirimu begitu baik dan bijak.”
”Aku tak mengharap pujianmu,” kataku, pelan. Tanganku mengelus-elus punggungnya.
”Selama ini, aku gamang. Benarkah dirimu akan meminangku? Aku ragu.”
”Itu sudah terjawab sekarang.”
“Baiklah, mulai sekarang, aku akan melayanimu dengan sungguh-sungguh.”
”Besok, dirimu masuk kuliah lagi. Nanti sore kuantar. Biar nanti malam dirimu bisa istirahat. Aku harus kembali bekerja di kedutaan. Sekarang, kita istirahat, menyapa ibu dan bapa. Kasihan mereka kita biarkan beberapa hari, pasti mereka menanti kita. Dan, kakak kembarmu….”
Kinya mengangguk. ”Dia pasti sangat kesepian,” jawab Kinya, cepat.
“Semoga keluarga kita mendapat jalan yang lapang! Buat kakak, ibu, dan bapak. Kita berdoa dengan khusyu di Baitullah.”
Kami pergi ibadah umrah pada liburan semester Kinya. Ibu dan bapa mengundang tetangga, membacakan Yasin. Sementara aku memberi kabar kepada saudara-saudaraku di Indonesia. ”Kami hanya turut mendoakan,” jawab kakak perempuanku dari seberang telepon.
(Bersambung)