Misteri Ketiga
Sejenak mengambil jarak ke belakang, ketika pertama aku mengenal dirinya.
Aku sedikit tahu tipikal Kinya. Terlihat lembut, namun tegas. Meski sebenarnya sangat rapuh. Seberapa kuat dia bertahan di dalam keangkuhannya tidak sekuat seperti kakak pertama atau kakak keduanya. Sebagai anak ketiga, Kinya wajar mendapatkan perhatian lebih dari keluarganya. Terutama ayahnya, Sanusi.
Kinya. Gadis yang mengusik pikiran dan perasaanku selanjutnya yang selalu mendapat sanjungan dan pujaan dari ratusan mata.
Pertama berjumpa dirinya ketika aku membuat event budaya di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sebagai peserta, Kinya lebih menonjol dibandingkan dari peserta-peserta lain yang datang dari berbagai perwakilan negara di Chechnya.
Malam itu seusai acara di antara meja dan kursi yang berantakan, Kinya memanggilku. “Anda wartawan, ya?” tanyanya, melihatku yang sedang memegang kamera.
“Bukan,” sahutku.
”Bisa minta tolong saya difotokan sama Yusuf Yunesov?” katanya, seraya berdiri di samping Yusuf.
Yusuf adalah teman yang kuundang untuk mengisi acara budaya itu.
Setelah satu dua petikan mengambil gambarnya, aku diminta olehnya untuk mengirim hasilnya.
”Minta nomormu, nanti saya kirim,” kataku, seraya mengeluarkan hape androidku.
Pertemuan kedua ketika keesokan harinya di tangga gedung Conta Haji Islmic University. Acara seminar budaya itu diselenggarakan di lantai dua. Di anak tangga itu kembali aku berpapasan dengan Kinya yang sedang sibuk mengambil sesi video. Tubuh semampai itu berkelebat cepat, meninggalkan aroma khas. Dengan santun, aku menawarkannya minum sekadar basa-basi.
Suaranya lantang dan tegas menjawab tawaranku.
Aku tersenyum seraya berlalu.
Aku tak lagi berjumpa dengannya, kecuali sekali saat dia melintas di depanku. Saat itu, suara-suara bergemuruh memuji kecantikannya sebagai mahasiswi Duta Maroko.
Sejak acara itu, aku coba mengenal dirinya melalui telepon. Aku mewawancarainya dengan alasan untuk pemuatan berita di media yang sedang kubuat. Beberapa pertanyaan yang kuajukan dijawabnya dengan jeda.
Sejak saat itu pula, aku masih menghubunginya dengan sapaan-sapaan biasa.
Kinya yang kulihat ternyata tak setangguh saat dirinya berjalan anggun.
Apakah saya salah dengan tindakan saya?
(Bersambung)