Dirimu membuatku yakin
Atas cinta dan kasih sayangNya yang nyata
Ketika dirimu hadir dalam setiap deru nafas dan doaku
(2018)
Grozni
Sudah menjadi anugerah hidupku mendapati keremajaannya. Wajah itu tertunduk saat kubuka mukenanya. Ada butir bening yang jatuh perlahan saat dagunya kuangkat. Ia memejamkan mata. Lama. Aku menatap wajah itu. Tak ada gerak mimik yang dapat terbaca, kecuali kantung mata yang membesar.
Kicau burung mengantar suasana. Sudah tiga pagi, kami lalui. Sementara embun datang dan pergi dari kelopak dedaunan. Kami tidak membutuhkan kamuflase untuk menikmatinya, ketika sajadah masih menjadi alas kami bersimpuh.
”Isteriku…,” panggilku. Suaraku tertahan.
”Mas…,” katanya, pelan. Sangat lembut.
”Kinya, isteriku….”
Kami terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Sekali lagi, kuangkat dagunya.
Kinya tersenyum.
Aku meraih pundaknya, lalu mengajak duduk di pembaringan.
”Aku mungkin bukan orang yang kau harapkan,” kataku, pelan. Tak ingin mengulang, dan takut salah.
Kinya menundukkan kepala, sembari menggeleng. “Tidak, mas. Sejak semula, aku memang mengharapkan mas.”
”Lalu, kenapa kau diam saja?”
Kinya menjatuhkan kepalanya di pundakku. “Tidak, mas. Aku bahagia.”
Dadaku serasa longgar, seolah telah terlepas dari beban berat yang menghimpit.
”Aku bahagia dan bersyukur, mas. Semula, aku tak percaya, kalau cermin hidupku adalah dirimu. Antara takut dan rindu. Aku menatap dirimu. Cerminku begitu besar.”
Aku memeluk erat tubuhnya. Kudekap hingga nafas kami saling memburu. ”Sayang, kita tidak dapat menolak atau menghindari bayangan kita. Allah sayang pada kita. Dia telah menyelamatkan kita.”
”Apa arti menyelamatkan itu, Mas?”
Aku tak langsung menjawab. Menarik nafas dalam-dalam. ”Sudah tiga hari kita diikrarkan. Artinya, kita telah diselamatkan dalam ikatan suci.”
”Mas.”
”Hem.”
Kinya menatapku. Dengan senyum tipis, dia mengelus wajahku. “Terus terang, aku seperti sedang bermimpi.”
”Inilah nyatanya. Kita dipersatukan,” kataku, cepat menyela.
”Iya, mas. Aku telah membuatmu bingung cukup lama.”
Giliranku menatapnya.
Kinya tersenyum. “Dirimu sangat kaku.”
“Ya, aku kaku. Di hadapan bidadari yang selalu kupuja.”
”Terlalu menyanjung. Aku tak seperti itu.”
”Aku tak pernah berbohong, hingga ketulusanku selalu dimanfaatkan orang lain.”
”Engkau selalu begitu. Tapi, dengan ketulusanmulah yang membuatku luluh. Banyak yang coba mendekatiku, tapi mereka tak berhasil menghadapi egoku.”
”Aku tahu dengan risiko itu. Pasti, ada banyak lelaki yang mengincarmu.”
”Aku tidak seperti yang mas pikirkan.”
”Ya, aku coba membuka fakta.”
”Aku tak mengelak, tapi aku sekarang milikmu,” tegasnya.
”Mungkin, aku terlalu pecemburu.”
”Justeru dengan diammu, Mas. Membuatku luluh.”
”Dan, diammu membuatku luka.”
”Maafkan aku!”
”Itu sudah berlalu.”
”Kuharap demikian. Aku ingin yang baik-baik saja pada kita.”
”Aku akan selalu mendekapmu, seperti dirimu yang tak ingin kehilanganku.”
”Ke manapun?”
”Kemanapun,” jawabku.
”Ke mana mas akan mengajakku?”
”Ke manapun kau ingin.”
”Sungguh?” matanya membesar, berbinar.
Aku tak memberikan jawaban. Dengan cepat, tanganku meraih tubuhnya. Merapat. Satu kecupan mendarat di keningnya. Hidungnya. Dan, lalu.
Mata bulat Kinya terpejam. Ia mendorong mukaku. Terengah.
”Kenapa?” tanyaku.
Kinya menjawab dengan pelukan yang kuat. Kembali, kami terlibat dalam pagutan. Saling membuka diri dalam kepolosan. Tak terhitung dalam bilangan, ketika kami lelah terbujur kaku.
Di telinganya, aku pun berbisik. ”Kita akan ke Mekah.”
Ia membalas dengan senyuman. “Benarkah?”
”Ya, hadiah pernikahan kita,” ujarku, sembari mengecup keningnya.
Gelaran tirai strimin masih menggelantung di sudut-sudut ruangan. Janur kuning belum layu. Tidak mewah, karena permintaan Kinya. “Yang penting pantas saja,” katanya, ”ada momen kelak yang lebih indah. Kelak kita dapatkan.”
Aku mencubit hidungnya.
Kinya masih kuliah di Conta Haji Islamic University ketika kupinang. Dia gadis ceria yang berhasil meraih juara pertama gadis kampus. Aku mengenal Kinya, ketika mengadakan pelatihan Jurnalistik di Grozni. Dia yang pertama menyapa ketika kami berada di depan pendopo Walikota Grozni seusai acara. Dia mengira aku seorang jurnalis. Dia minta tolong difotokan bersama Yusuf Yunesov. Sahabatku dari Moskwa. Aku katakan sembari berbohong, aku bukan jurnalis, tapi bisa membantu mengambilkan foto.
Pada pertemuan kedua, saat dia sedang menuruni anak tangga. Diiringi oleh reporter video, kembali dia menyapaku. Aku tersenyum mengangguk sembari menundukkan kepala. Aku orang yang canggung, tak bisa bertatap lama dengan lawan jenis. Meski terakhir perlahan mulai terkikis, karena tuntutan pekerjaan.
Dengan tubuh yang bagus, kecerdasan, serta perbawa yang pantas, telah mengantarkannya menjadi seorang gadis muda. Kinya telah menjadi pujaan di kampus. Rasa minder terkadang muncul ketika dia dikerubuti teman-temannya. Tetapi, kutepis jauh-jauh dan menekatkan diri dia adalah jodohku.
Usiaku dan Kinya terpaut jauh. Awal aku masuk kuliah, dia baru lahir. Panggilan aku dan kamu telah membebaskan jarak di antara kami. Terutama, ketika dia kularang memanggil “pak” padaku. Sejak itu, dengan panggilan mas, dia menyapaku.
Jika saat itu, aku berada di Grozni, tinggal di rumahnya, karena aku telah menjadi suami sah dirinya.
(Bersambung)