Kontroversi muncul ketika BNPT merilis ciri-ciri penceramah radikal atau biasa dikatakan intoleran. Kenapa demikian?
Sejak kran Reformasi dibuka pada 1998, kebebasan (neoliberalsme) muncul ke permukaan wacana beragama, berbangsa, dan bernegara. “Spirit of Islam” menjadi salah satu tema penting manakala Islam dihidupkan melalui ideologi-ideologi yang berlaku di organisasi-organisasi kemasyarakatan dan politik. Islam sebagai ideologi dipandang mampu menjadi ideologi alternatif dengan memandang Pancasila dianggap belum selesai. Hal ini menjadi massif ke dalam gerakan-gerakan sosial manakala terjadi gelombang Ärab Spring” yang telah meluluhlantakkan Timur Tengah menjadi ajang peperangan. Dengan atas nama Islam, muncul gerakan “Islamic Suriah Irak State”(ISIS) melakukan pemberontakan terhadap Negara dengan cara menghalalkan darah sesama umat Islam misalnya.
Ciri-ciri Penceramah Radikal
Menurut Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Ahmad Nurwahid, ada beberapa indikator/ciri penceramah radikal yang bisa dicermati. Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan proideologi khilafah internasional.
Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain karena berbeda paham.
Ketiga, menanamkan sikap antipemerintahan yang sah.
Keempat, memiliki sikap ekslusif terhadap lingkungan.
Kelima, memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifan lokal.
Namun, pada dasarnya, munculnya sikap intoleran tersebut karena didorong oleh eksklusivisme pemahaman (dalam bahasa pemikiran Islam sering diartikan sebagai Taqdis Al-Fikr, mensucikan pikiran). Mereka antidialog. Padahal, Islam adalah agama inklusif, mau menerima masukan dan perbedaan. Apalagi Islam pada dasarnya bersifat ilmiah, dapat diverifikasi dan diuji kesahihannya. Pihak yang antidialog biasanya tidak begitu menguasai keilmuan yang terus berkembang. Mereka hanya menerima pendapat mereka saja. Merasa benar sendiri. Tidak membuka ruang dialog. Dan, suka berpropaganda dan provokatif. Maka, wajar, jika pemerintah melalui BNPT mengkategorikan mereka radikal. Berpikir sesuai selera tanpa mau berdialog.
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Sejak diputuskan oleh Muktamar NU ke-29 di Situbondo tahun 1989, organisasi-organisasi keislaman lainnya berbondong-bondong mengusung Pancasila sebagai asas tunggal yang bisa diterima oleh semua agama dan golongan masyarakat Indonesia. NU bisa dikatakan sebagai organisasi pertama yang menerima asas tunggal Pancasila.
Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal ini dapat dipahami sebagai kebebasan bagi setiap agama dan golongan masyarakat untuk menafsirkan sesuai dengan latar belakang dan jiwa masing-masing. Bagi warganegara yang beragama Islam, Pancasila “par excellence” lima pasal yang termaktub dapat diterjemahkan dan ditafsirkan sesuai dengan ajaran Islam dari berbagai sudut ilmu pengetahuan seperti fiqh, tafsir, tasawuf, bahkan filsafatnya. Begitu pula, warganegara yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, dan lain-lain.
Kendati memiliki penafsiran tersendiri terhadap sila-sila Pancasila, umat Islam seharusnya sudah menyelesaikan persoalan ideologi negara yang telah dilahirkan melalui pemikiran panjang oleh parapendiri bangsa. Sebab, di dalam berbangsa dan bernegara, beragama tidak berarti harus memiliki visi dan misi tersendiri secara eksklusif, tertutup dan antidialog. Pancasila dengan sendirinya telah membuka diri bagi ruang-ruang penafsiran sehingga dapat diamalkan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan sehari-hari umat Islam. Dengan demikian, Islamophobia sudah selesai di Indonesia, karena Pancasila pada hakikatnya sebagai ideologi tidak bertentangan dengan Islam, kecuali membuat ideologi tandingan dengan sebutan “ïdeologi Islam”.