Kinya menganggukkan kepala, mengikuti langkahku, seraya menggandeng lengan. Di dalam lift, kami bertemu dengan Pak Lecha dan isterinya. Kinya mendahului sapaan. Kami terlibat dalam obrolan ringan.
”Siapa yang akan memimpin jamaah?” tanyaku.
”Bapak saja. Saya tidak begitu yakin dengan petugas travel agent,” kata pak Pak Lecha, kepadaku.
”Kenapa begitu? Dia ditunjuk oleh perusahaan untuk memimpin rombongan,” selaku.
”Benar, tapi….”
”Tapi, apa pak Pak Lecha?”
”Dia tidak menggunakan ilmu fiqh dengan baik,” ujar pak Pak Lecha. “Dan, saya mempercayai orang-orang Indonesia yang tertib.”
Aku tercenung sebentar. ”Dalam mengemban tugas seperti pemandu jamaah, kita memang tidak mengandalkan ilmu fiqh-nya, pak Pak Lecha,” ujarku, kemudian, ”yang kita perlukan hanya petunjuk. Persoalan ilmu fiqh itu kembali kepada pribadi kita masing-masing, karena itu bersifat amaliah,” kataku, memberi alasan. ”Kita hanya butuh radar dan kompas ketika kita menentukan arah kiblat, tapi persoalan salat adalah antara kita dan Allah.”
Pak Pak Lecha tampak puas mendengar jawabanku, meskipun langkahnya seperti ragu.
Kami berpisah di pintu lift.
Aku menarik tangan Kinaya. Tangan itu kugenggam erat-erat memasuki kamar. Seperti selalu pengantin baru. Di dalam kamar, aku telah memburu Kinya sejak di pintu.
Setelah mandi, aku duduk di tepi ranjang.
Kinya menyiapkan makan malam. Sesekali, ia melirik ke arahku. ”Kau terlalu lelah,” katanya, seraya menyodorkan segelas susu.
Aku tersenyum. ”Tidak. Aku sangat menikmati. Hanya ada satu hal yang mengganjal benakku.”
”Apa itu?”
”Aku melihat lagi orang yang pernah singgah dalam ingatanku yang mulai rapuh.”
”Siapa?” tanya Kinya, tak senang.
”Ah, tidak, sayang,” sergahku, cepat. Aku menarik tangannya cepat. Lalu, kugenggam erat jemarinya. ”Seseorang yang berkulit kelam, tapi entah di mana aku mengenalnya. Aku tadi melihatnya….”
”Kenapa mas tidak panggil atau kejar dia,” kata Kinya, mengingatkan. Nada suaranya reda tak seperti semula.
“Ada. Ada keinginan untuk mengejarnya, tapi tiba-tiba hilang.”
“Siapa kira-kira gerangan dirinya?”
”Entahlah, barangkali nanti akan ingat lagi. Sebaiknya, kita makan malam dulu. Besok, kita harus memulai tawaf,” kataku.
Kami makan hingga kekenyangan. Malam itu, aku tak melepas Kinaya dari dekapanku. Kendati demikian, pikiranku terus bekerja mengingat-ingat sosok yang melintas di jalan itu.
Aku masih menyempatkan diri mencumbu Kinaya, hingga akhirnya kami terlelap.
Jam menunjukkan hampir subuh saat aku terjaga. Kinaya masih tertidur pulas dalam dekapanku. Kukecup keningnya, sebelum beranjak ke kamar mandi.
Tapi, Kinya bersigap cepat. Ia terjaga dan menarik tanganku. ”Ikut,” katanya, parau.
”Sudah hampir subuh. Seperempat jam lagi.”
Kinya tak menjawab. Dia mendorongku ke kamar mandi.
Kami mengambil air wudu dan salat tahajud.
(Bersambung)