Makam, bagi orang Jawa, tidak hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan jasad orang yang telah meninggal dunia, melainkan juga tempat “ngangsu kawruh”; dan merupakan bagian integral dari sistem kehidupan mereka, terkait erat dengan kosmologi dan “worldview” yang menaunginya.
Karenanya, tak heran jika wujud makam didesain sedemikian rupa. Anatomi makam dari mulai kijing sampai nisan adalah identitas orang yang dimakamkan, yang bisa dibaca sekaligus “nuturi” si pembacanya. Ia bukan hanya “tetenger” yang menunjukkan eksistensinya di masa lalu, melainkan juga “pepeling” bagi anak-cucunya.
Bentuk dan model nisan serta kijing menyimpan kode tertentu yang menunjukkan identitas, zaman di mana ia hidup, posisi sosial, perilaku, garis nasab, sanad keilmuan, profesi, serta bakti atau prestasi apa yang telah ditorehkannya selama hidup. Hal ini yang kemudian menjadi “pitutur” bagi anak cucunya, generasi setelahnya, mengenai apa yang semestinya dilakukan di dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, relasi mereka dengan leluhurnya terus terjalin lintas zaman dan alam. Kematian tidak membatasi perjumpaan di antara mereka. Keduanya dapat terus hidup bersama meski dalam dimensi yang berbeda. Komunikasi dapat terus dilakukan sebagai bagian dari “ilmu yang bermanfaat”.
Karenanya, menziarahi makam bagi orang Jawa adalah suatu keniscayaan. Melalui ziarah ini, mereka melakukan perjumpaan sekaligus dialog dengan leluhurnya, menyerap siraman “nasihat” secara langsung melalui refleksi dan pembacaan atas kode-kode yang dipahatkan pada makam mereka, untuk kemudian “diugemi” di dalam “laku” hidupnya dalam rangka “memayu hayuning bawana”.
Sayangnya, ketercerabutan generasi saat ini dari “worldview” dan kosmologi leluhur mereka membuat makam tak ubahnya hanya seonggok benda, tempat mengubur jasad mereka yang telah berpulang ke alam baka. Tak bermakna apa-apa.
Saya kira, di sinilah letak pentingnya buku “Nisan Hanyakrakusuman” ini untuk dibaca. Melalui buku ini, kita dapat kembali menyambung silaturahim dengan mereka yang telah mendahului pergi. Di samping, wisata ruhani yang terkadang kering. Sebagaimana ruhani tidak seperti materi yang mati. Perlu siraman-siraman yang tidak hanya dipikir, melainkan dilalui dan dialami.