Mari Kita Mengenang Kampung Halaman
Bungur jalan ka Cianjur
Gunung pangrango ngadago teu weleh sono
Jentreng kacapi gelikna suling
Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng cianjuran
Bungur jalan ka Cianjur
Ka cibalagu nu liwung teu weleh gandrung
Jentreng kacapi gelikna suling
Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan
Demikian rumpaka tembang cianjuran menuturkan dengan nada sedih penuh kerinduan. Saya belum dapat melacak siapa penggubah lagu ini, namun dari lirik dan nadanya, saya menebak ada harapan dan kerinduan yang begitu besar akan kampung halaman, akan suatu tempat yang dulu pernah menjadi lingkungan tinggalnya. Penyebutan nama-nama geografis dan historis serta beberapa benda semisal kecapi dan seruling menunjukkan identitas dan kelekatan si penggubah dengan semua hal itu. Konon, dari beberapa perbincangan, lagu ini mengisyaratkan kerinduan para keturunan penghuni Pakuan yang terusir dari negerinya akibat perang. Mereka menjadi korban politik yang berlaku kala itu.
Demikianlah, manusia Sunda menuangkan kerinduan dan harapannya dalam selarik rumpaka. Kondisi ini setali tiga uang dengan banyak ekspresi manusia lainnya di banyak belahan dunia, dalam situasi dan kondisi yang sama. Benda-benda, nama wilayah geografis, hingga tumbuhan khas kerap disebut guna mengisyaratkan keterikatan batin yang dalam dengan muasalnya. Darwisy, misalnya, penyair Palestina ini pernah mengungkapkan hal serupa dalam larik berikut.
كُفْرُ قاسم
قرية تحلم بالقمح , وأزهار البنفسج
وبأعراس الحمائم
…
آه يا سنبلةَ القمح على صدر الحقول
“Kafr Qasim
Sebuah kampung yang memimpikan gandum, bebunga banafsaji, dan pasangan-pasangan merpati
…
Duhai, barisan tangkai gandum di bentang ladang….”
Demikianlah. Mari kita kenangkan kampung halaman yang mungkin telah lama kita tinggalkan.
Yogyakarta, 18 Juli 2021
Di tengah pandemi dan kelebat kampung halaman yang dirindukan