Ada kritikan yang ditujukan kepada Imam Al-Syafi’i, karena cenderung menonjolkan sisi ke-Arabannya dalam pendapat-pendapatnya, semisal analogi (qiyas). Sehingga orientasi ijtihad menjadi “katakanlah” terhalang dari ekspektasi-ekspektasi rekonstruksionis. Dengan kata lain, keilmuan kaum muslim terhalang oleh karena sebab terbentur pada kemahiran berbahasa Arab. Hal ini tentu menyebabkan ijtihad pada akhirnya akan berbenturan pada aspek-aspek budaya kaum muslim yang sudah tersebar di seluruh dunia sebagai keniscayaan memiliki keragaman tradisi, bahasa, suku-bangsa, negara, dan seterusnya. Dari prinsi-prinsip keilmuan sudah dapat dilihat ketika berbenturan dengan disiplin ilmu yang berkembang. Ijtihad yang sejatinya lahir dari tradisi Bayani, bahasa dan stilistika (uslub), dianggap tidak mampu mengadopsi disiplin ilmu-ilmu lainnya. Sehingga muncul asumsi ijtihad secara mutlak mustahil dilakukan sendirian, tanpa melibatkan ilmuan-ilmuan lain dalam menentukan sebuah putusan. Peralihan menjadi ijtihad jama’i (kolektif) dipercaya sebagai solusinya.
Kritikan terhadap Imam Al-Syafi’i tersebut tentu bukan tanpa alasan, karena begitu kuat dominasi ke-Araban yang melatarbelakangi syarat dan prasyarat kelahiran seorang mujtahid mutlak.
Di satu sisi, keilmuan Islam terlahir dari proses yurisprudensi yang panjang. Dari ungkapan demi ungkapan, dari putusan demi putusan, sehingga melahirkan ilmu fiqh yang memiliki implikasi lebih luas terhadap hukum, tafsir, bahasa, dan sebagainya. Namun, dasar fiqh yang dipahami sebagai hukum merupakan landasan utama dalam pembentukan kondisi sosial suatu lingkungan masyarakat. Asumsi tradisi Bayani , masyarakat bisa disatukan secara ideologis melalui kerangka bahasa. Maka, muncullah suatu pandangan “min maqashid al-lughah ila maqashid al-sya’iyyah”. Mengenal maksud-maksud dan prinsip-prinsip bahasa untuk mendapatkan maksud-maksud dan prinsipi-prinsip diturunkan syariah. Dengan kata lain, ijtihad secara mutlak hanya bisa dilakukan dengan cara mengenal prinsip-prinsip bahasa Arab secara ideologis, tidak boleh lain.
Dalam prinsip-prinsip budaya, yang memandang bahasa sebagai produk budaya suatu masyarakat, hal demikian tentu tidak dapat diterima. Mengingat, bahasa mengalami proses penyerapan-penyerapan, tidak terkecuali bahasa Arab. Bahasa hanya sub bagian dari prinsip-prinsip ilmu sehingga tidak bisa tidak menolak prinsip-prinsip yang lain seperti kerangka sejarah, psikologi, filsafat, atau bahkan geopolitik. Mujtahid mutlak tidak bisa menjadi asumsi kalangan fiqh saja atau hukum saja, melainkan harus melibatkan disiplin ilmu-ilmu yang lain, meskipun sekadar prinsip-prinsipnya saja. Pada kasus-kasus parsial,ijtihad jama’i memang memerlukan sebuah kolektivitas, seperti Bahtsul Masail yang memerlukan pertimbangan-pertimbangan dari disiplin ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, ataupun neurologi, psikologi, dan sebagainya. Namun, pada kasus ijtihad mutlak, seorang mujtahid hanya memerlukan prinsip-prinsip ilmu yang barang tentu mendapat pertimbangan-pertimbangan ijtihad jama’i dan/atau bahasa Arab perkasuistik. Dalam bahasa kerennya, multidisipliner. Terlepas dari latar belakang keilmuan yang dimiliki oleh sang mujtahid.