Saya bukan penyimpul yang baik atas teori-teori atau anti-teori sekalipun. Dalam menulis juga begitu, mau akademis atau non-akademis juga tidak terlalu penting, karena ada ranahnya sendiri-sendiri. Ranahnya akademis ya di akademia. Ranahnya masyarakat ya seperti masyarakat. Jadi, tidak perlu bertanya valid atau tidak. Ilmiah atau tidak. Tokh, pada kenyataannya kehidupan sosial adalah final. Hal ini tentu berangkat dari pengalaman yang sudah-sudah. Sudah cukup bertikai di bawah tumpukan-tumpukan ide dan buku. Pada abad ke-20, masyarakat diributkan pada perlu tidaknya tahlilan bagi yang mati, ziarah kubur, qunut tidaknya, dan seterusnya. Taraweh delapan rekaat atau 20 rekaat. Sholat hari raya di mesjid atau di lapangan. Khotbah Jumat pakai tongkat atau tidak. Padahal, masyarakat masih berpikir cuma sholat atau tidak, puasa atau tidak, berdoa atau tidak. Sangat simpel.
Membaca perdebatan Islam Nusantara yang tak berkesudahan masih lantas seputar di atas tulisan, bukan pada realitas. Meskipun dalam sensus penduduk, masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim. Namun, sejauh mana aplikasi dan penerapan agama di masyarakat belum ada yang mensensus. Artinya, perdebatan hanya masih berkutat pada persoalan teoretik, bukan pada substansial.
Pengalaman setahun menjadi “volunteer” di masyarakat suku anak dalom cukup memberi wawasan, jika perdebatan agama menjadi tidak penting bagi masyarakat. Kemunculan sosok seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain adalah fenomena sosial biasa. Ada pribadi beserta komunitas yang dibangun olehnya membuat suatu pemikiran yang berbeda pada masanya, kendati asal usulnya masih bisa dilacak dari Timur Tengah. Tapi, sekali lagi, itu problem elit. Bukan problem sosial. Hingga sekarang, problem membaca Al-Quran masih menjadi serius dengan fenomena kemunculan rumah-rumah tahfidz. Artinya, membaca atau melek huruf Al-Quran pun masih memerlukan waktu yang cukup lama.
Sejarah manusia masih tetap menarik, terutama manusia Melayu-Nusantara. Ketika mereka masih bisa hidup dengan rukun meskipun tidak mengenal agama. Yang seharusnya tidak menjadi problem pada masyarakat, justeru dijadikan problem. Manusia Nusantara pada dasarnya adalah menerima (resepsi), terbuka, bukan bertranformasi. Yang bertransformasi mungkin hanya segelitir elit. Dan, itu hanya bisa dipahami oleh segelintir orang.
Manusia Nusantara memerlukan berpikir radikal: mereka terlahir sebagai manusia merdeka yang kemudian mendapat tindihan-tindihan agama, ideologi, hingga politik. Mereka terkadang tidak mengerti sama sekali tentang agama. Tidak mengerti sama sekali tentang ideologi, namun harus menderita dan hilang nyawa manakala hanya memiliki “kartu anggota” organisasi tertentu. Pembelaan novel Ahmad Tohari terhadap masyarakat yang tidak mengerti ideologi lalu nyawanya harus melayang hanya karena kebodohan adalah problem kemanusiaan yang paling parah bagi sejarah.