Baru beberapa hari yang lalu, saya bertemu beliau. Seorang hafidh. Sedikit berbeda dengan yang lain. Punya kisah tersendiri. Sehingga saat ini, saya tergerak untuk menuliskannya.
Pertemuan pertama saya dengan beliau pada saat momen khatmil Quran. Dia pribadi yang baik dan ramah. Bahkan, beliau saya jadikan “hujjah hidup” bahwa untuk menghafal Al-Quran, bisa saja tanpa memiliki “skill” tahsin yang baik. Artinya, menghafal sambil tahsin itu bisa. Karena beliau, konon menghafal Al-Quran sejak usia sekolah dasar sampai juz 20 tanpa mengenal “abatasa” atau huruf hijaiyah. Beliau menghafal dengan dibacakan kiainya saat mondok di Kabupaten Gresik.
Pada kisah yang lain, beliau selama umrah, dalam sehari mampu membaca khatam berkali-kali. Jadi bagi saya, beliau layak mendapat predikat “mutqin”.
Sisi lain yang sering menampar saya adalah, selain menjadi seorang hafidh, secara kasab/penghasilan hidup, beliau juga bekerja sebagai tukang bangunan. Sungguh, sebuah kombinasi yang jarang ditemui di tengah zaman bertumbuh suburnya para pendakwah yang tampil dengan megah di depan jamaahnya.
Saya bersaksi Gus Fauzan Ridloi Al-Hafidh, jenengan tiyang sae. Min Ahlillah. Mugo pinaringan rahmat maghfirahNya selalu. Dilapangkan kuburnya. Aaamiin Yaa Robbal Alamiin.
“Kalau sedang sibuk biasanya hanya dapat satu, tapi kalau sedang longgar satu setengah,” ujarnya, menjelaskan prioritas hafalannya.
Demikian, dialog dari almarhum Gus Fauzan Ridloi ketika ditanya, sehari mengajinya berapa banyak. Oh iya, itu satu kali khataman, bukan hitungan juz. Jadi, semasa hidup, beliau setiap hari minimal hatam satu kali. Suatu capaian yang tidak biasa, bagi seorang bapak dua anak yang sehari-harinya mencari nafkah serabutan.
Serabutan. Apapun beliau lakukan untuk mencari nafkah yang halal. Salah seorang sahabatnya pernah menemuinya di rumah, dan beliau ternyata sedang mengerjakan sol sepatu. Ya benar, sol sepatu. Bukan yang lain. Hingga sahabatnya ini tidak tega melihatnya.
Dalam cerita yang lain, begitu bersahajanya hidup beliau, pernah suatu saat beliau mencari nafkah dengan mengais becak. Dan, subhanallah, ternyata penumpangnya adalah tuan rumah yang dulu pernah mengundang beliau khataman. Dan, yang lebih mengherankan lagi, beliau tidak mau menerima uang tambahan dari tarif yang biasa didapatinya.
Mungkin di benak beberapa orang, ada yang agak sangsi dengan bacaan orang yang khatamnya bisa cepat dan berkali-kali. Namun, saya dengar dari telinga saya sendiri, bahwa bacaan beliau itu yakin. “Cetho” kalau dalam bahasa jawanya. Bahkan, salah harakat pun beliau jarang terdengar. Hal ini yang menyampaikan bukan satu atau dua hafidh, tapi sudah banyak yang menyaksikan dan membuktikan sendiri. Jadi, jelas sudah betapa “mutqin”nya bacaan dan hafalan beliau.
Walaupun bekerja serabutan, beliau pada akhirnya ditakdir Allah bisa melaksanakan umrah ke tanah suci. Pada awalnya beliau musykil, darimana akan mendapat biayanya. Namun, pada akhirnya, beliau bisa berangkat ke sana juga. Dan, sewaktu di pesawat saja, beliau sudah khatam sekali dan setibanya di hotel, sudah sampai di juz ke-19. Betapa ringan lisan beliau dalam mengaji. Kenikmatan terindah bagi penghafal Al-Quran adalah ringannya lidah ketika melafalkan Al-Quran.
Beliau adalah sosok yang pantas dijadikan teladan dalam “ber-Quran”. Menjadi penghafal Al-Quran itu tak perlu banyak gengsi. Ataupun, juga memikirkan omongan orang lain. Cukup jalani saja apa yang diyakini. Asalkan halal dan jelas “thoyyib”-nya, maka berangkatlah untuk mencari rezeki yang halal. Seperti pesan salah seorang kiai di Jawa Tengah yang berpesan kepada santrinya, “Lek budal khataman, sarapan disek nang omah. Ben gak njagakno tuan rumah e nyepakno sarapan.” Tentu, dawuh tersebut bertujuan mengingatkan secara tidak langsung bahwa seorang penghafal Al-Quran, juga wajib menata niatnya dalam setiap khataman dan mengaji. Agar kelak, hafalan Al-Quran-nya tidak sekadar “lafdhan”, tapi juga mampu “maknan” dan “amalan”.
Allahumma ma’al Quran
Wallohu a’lam