Masyarakat Indonesia memiliki aneka cerita yang kaya sehingga memunculkan beragam jenisnya seperti legenda, tambo, dan dongeng yang tertuang ke dalam bentuk-bentuk pantun, serat, babad dan lain-lain. Demikian, cerita-cerita tersebut sering dianggap fakta sejarah yang sungguh-sungguh terjadi pada masa lalu sehingga menjadi ingatan bersama masyarakat.
Jaka Tingkir salah satu lakon yang sering diangkat ke dalam cerita-cerita tersebut menjadi fenomenal manaka diangkat pula ke dalam bentuk cerita layar lebar dan layar kaca. Tidak kurang pula melalui cerita-cerita komik dan novel. Sayangnya, cerita-cerita dongeng yang tersebar di masayarakat tersebut tidak menyisakan titik tanggal yang dapat dijadikan sebagai fakta sejarah. Kendati, cerita-cerita tersebut sangat erat dengan sejarah tanah Jawa. Hal ini sering menjadi ambigu di antara kisah-kisah yang ada. Cerita-cerita yang tidak mengenal ruang dan waktu tersebut benar-benar telah memunculkan polemik dan multitafsir. Dengan kata lain, masyarakat senantiasa dihadirkan dan disuguhkan dengan tafsiran-tafsiran yang kontradiktif sehingga polemik-polemik tersebut cenderung terkesan tidak berubah dari waktu ke waktu, sementara “setting” ceritanya berbeda di lain tempat.
Pada kasus-kasus dongengan tersebut sebenarnya tidak dapat diambil kesimpulan demikian sebagai fakta sejarah, meskipun mengandung makna sejarah. Cerita-cerita, katakanlah sastra, tersebut hanya bisa dipandang sebagai karya budaya yang hidupdi tengah-tengah masyarakat. Budaya yang penuh heroisme dan semangat membela diri. Hal ini bisa dikatakan sebagai sejarah budaya. Catatan-catatan yang menggambarkan budaya Indonesia yang diambil dari masa sekarang, sedikit masa lalu, plus imajinasi. Masyarakat (pembaca) digiring pada asumsi-asumsi imajinatif yang menghadirkan masa lalu dengan mengait-ngaitkan kejadian di masa sekarang sehingga menjadi sebuah kepercayaan “iman” bagi masyarakat awam.
Namun yang jelas, masyarakat awam atau bahkan konstruks dalam “fakultas-fakultas” sejarah menjadikan masa lalu tersebut sebagai fakta yang memang harus diyakini kebenarannya. Padahal, mitologi yang demikian sangat sulit untuk dibuktikan ke dalam bentuk sejarah faktual. Dengan kata lain, lebih banyak menghadirkan cerita-cerita yang sulit dipertanggungjawabkan.
Sumber cerita Jaka Tingkir dihadirkan dari cerita-cerita lisan, beberapa serat, dan babad. Seebagaimana naskah-naskah yang berbentuk serat dan babad tersebut dikonstruksikan setelah abad-abad belakangan, tidak mendekati ruang dan waktu peristiwa dan kejadian. Terutama,Babad Tanah Jawi, babad tertua dari sekian banyak babad, dilahirkan darisebuah kultur mayor yang dinamakan Mataram. Unsur-unsur budaya Mataraman lebih dominan di dalam cerita tersebut. Cerita Jaka Tingkir yang dihadirkan ke dalam bentuk babad atau sejenisnya dibaca melalui konstruksi sejarah Mataram, bukan dalam konstruksi sejarah Pajang atau Pengging. Dengan demikian, terjadi semacama penyeragaman,jika sajarah Jawa adalah sejarah Mataraman.