Hakikat seni akan menjadi perdebatan tak terbatas karena memiliki jangkauan di luar akal manusia. Ia hanya dapat diukur oleh kepuasan-kepuasan yang setiap orang memiliki tingkat kepuasan berbeda-beda. Mereka hanya mampu menilai sebatas perasaan mereka tanpa mampu melibatkan orang lain.
Secara prinsip, seni adalah segala sesuatu yang menghasilkan kepuasan atau kesenangan, tetapi berbeda dengan sekadar perasaan gembira karena memiliki unsur immateri yang tak terhingga sesuai dengan kapasitas perasaan seseorang. Dari segi produksinya, seni dapat diartikan sebagai produk keindahan seseorang. Suatu usaha manusia untuk menciptakan yang indah-indah dan dapat mendatangkan kenikmatan. Secara hakikat, menurut S Sudjojono, perupa pada 1930an, seni adalah ekspresi jiwa seniman yang terlihat atau disebut dengan istilah jiwa ketok. Seseorang dapat menampilkan sesuatu yang indah-indah berdasarkan perasaannya sehingga tampak pada media-media tertentu seperti ke dalam kanvas lukisan, tulisan di atas kertas (susastra), atau gambar-gambar sinema.
Secara prinsip, Islam mengajarkan tentang keindahan. Hal ini diambil dari salah satu nama Allah Ta’ala, Al-Jamil (Yang Maha Indah) sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim.
إِنَّ اللَّهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu Indah, Ia mencintai keindahan.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi kaum muslimin yang didirikan pada 31 Januari 1926. NU berdiri diawali dari satu gerakan panitia yang menolak penghancuran situs-situs sejarah di Jazirah Arab. Tim atau panitia tersebut dinamakan Komite Hijaz yang dipimpin oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah. Namun demikian, gerakan tersebut sudah diawali dari tiga gerakan sebelumnya seperti Nahdlatul Wathan di bidang penyelenggaraan pendidikan, Nahdltut Tujjar di bidang ekonomi (serikat dagang), dan Tashwirul Afkar (intelektualisme).
Secara asasi, gerakan NU merupakan perlawanan politik umat Islam Nusantara terhadap konflik yang terjadi di Jazirah Arab manakala Syarif Husein berhasil digulingkan oleh Muhammad ibn Saud. Gerakan tersebut dilandasi pula oleh penolakan terhadap praktek-praktek kolonialisme yang terus merugikan umat Islam. Dilihat dari latar historis ini, NU belum benar-benar serius membicarakan tentang seni, kendati tradisi yang berbau seni tetap berkembang di lingkungan-lingkungan masyarakat dan pesantren sebagai basis NU.
Praktek kolonialisme yang diselenggarakan oleh pemerintah Kerajaan Belanda dengan membentuk Negara Hindia Belanda atau “East Indiesche” (Hindia Timur) telah mendatangkan satu formula baru dari segi pemerintahan. Wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai (melalui konflik dan peperangan) kemudian diakuisisi sebagai wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Kekuasaan tersebut diperintah oleh seorang Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia. Guna menyelenggarakan sebuah tatanan hukum yang berlaku di negara Hindia Belanda tersebut kemudian dibentuk sebuah wadah Dewan Perwakilan (Volksraad) yang terdiri dari unsur-unsur partai politik. Setiap partai politik mengusung ideologi masing-masing sebagaimana dapat disaksikan hingga masa Indonesia merdeka. Setiap partai politik pula kemudian membuat strategi-strategi dukungan, tidak terkecuali menyentuh pada aspek kesenian.
Pandangan masyarakat sejak masa Hindia Belanda hinga diproklamasikan Negara Indonesia merdeka terbilang mengalami evolusi-evolusi sejalan dengan situasi politik. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sikap seniman menentang setiap kegiatan bangsa-bangsa Eropa yang mempromosikan Hindia Molek (Mooi Indie). Suatu sikap yang menjadikan masyarakat bangsa di Hindia Timur sebagai obyek. Mereka mengenalkan keindahan alam (gunung, hutan, dan sawah) ke dalam bentuk-bentuk promosi wisata seperti pamflet, film, koran, majalah maupun lukisan. Pihak masyarakat yang menolak atas promosi wisata tersebut membuat komunitas-komunitas seni.
Setelah Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dibentuklah partai-partai baru yang mengusung ideologi-ideologi baru pula. Dalam perlombaan menarik simpati dukungan, partai-partai politik tersebut merangkul kaum seniman untuk mendukung program-program mereka. Sehingga menimbulkan ekses-ekses polemik kebudayaan seperti perbedaan pendapat tentang tradisi dan kemodernan.
NU yang merubah arah pandangan politiknya menjadi Partai NU pada Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952 membentuk sebuah wadah seniman dan budayawan yang dinamakan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin (Lesbumi) pada 1954.