Kata manusia memiliki makna “harmoni” dari kata bahasa Arab “Insan”. Untuk memenuhi keharmonisan ini diperlukan pula kemampuan dasar yang sepadan, berkaitan dengan bicara, berpikir, dan berwawasan. Ketiga kemampuan dasar ini tereja wantah ke dalam kemampuan berbicara, menulis, dan membaca. Namun, pendidikan modern sering lupa pada kemampuan dasar yang harus dimiliki ini sehingga untuk berbicara harus diadakan lomba pidato, untuk bisa menulis diadakan latihan literasi, dan untuk membaca diperlukan menulis dulu, baru mengenal praktik-praktik membaca. Padahal, untuk menulis dengan baik, diperlukan wawasan luas agar bermutu.
Teknologi sebagai Lompatan Sejarah
Sejak Revolusi Industri pada abad ke-16 di Eropa, dunia tiba-tiba dibelalakkan oleh pentingnya teknologi. Dimulai dari penemuan mesin uap, teknologi mesin kemudian berkembang pesat. Sehingga tahapan-tahapan Revolusi Industri ini mememiliki fase-fase 1.0 sampai 5.0.
Suku-bangsa Indonesia (Nusantara) yang memiliki sejarah panjang teknologi seperti pembuatan candi-candi, kendaraan air, serta peralatan perang tiba-tiba kehilangan signifikansi manakala kolonialisme merambah Dunia Timur. Teknologi yang seharusnya berkembang pesat, malah justeru kalah bersaing dengan teknologi-teknologi yang dibawa dari Dunia Barat.
Dengan kata lain, budaya Nusantara yang seharusnya memiliki potensi budaya tersendiri di bidang teknologi perkapalan misalnya harus tunduk dan takluk pada budaya asing. Suku-bangsa Nusantara justeru lebih mengenal kemudahan-kemudahan atas bantuan teknologi baru daripada kemampuan pribadi. Hal ini menjadi lompatan demi lompatan sejarah yang merubah pola hidup manusia Nusantara-Indonesia.
Mestikah Kembali kepada Kemampuan Dasar?
Jika kemampuan yang dibantu oleh teknologi dapat mempermudah pekerjaan manusia, bukan berarti manusia kehilangan jatidirinya. Dia tidak bisa berbicara dengan baik dari segi perkembangan bahasa. Tidak bisa menulis dengan pikiran-pikiran yang logis. Dan, tidak bisa membaca hasil-hasil dengan kritis. Ketiganya merupakan kelindan yang saling menunjang. Tidak memenangkan salah satunya.
Dengan berbicara, orang akan berani. Dengan menulis, orang akan teliti. Serta, dengan membaca, orang akan terus berkembang dengan pengetahuan-pengetahuan baru.
Sudah seharusnya, hal ini menjadi prioritas dengan kesadaran sendiri, tanpa bergantung pada pihak manapun, untuk mengembangkan potensi ini. Sebab, dengan kehilangan potensi ini, orang akan tetap terbelakang secara mental. Ia akan kehilangan jatidirinya.
Memang benar,teknologi dapat mempermudah pekerjaan-pekerjaan manusia dewasa ini. Namun, secanggih apapun teknologi tetaplah hasil buah karya manusia yang tidak menutup kemungkinan akan kekurangan-kekurangan. Kemampuan dasar itu tetap diperlukan untuk manusia yang berbudaya, meskipun dalam situasi yang lebih mudah oleh teknologi.