Yang selalu menjadi pertanyaan bagi warga Nahdliyin adalah apakah tarekat (thoriqoh) yang dijalankan oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari dan bagaimanakah corak tasawufnya?
Praktek tarekat memang sempat menjadi pergunjingan pada abad ke-19, terutama masa-masa pasca Perang Dipanegara yang telah berhasil membuat luluh lantak keuangan VOC. Gerakan perlawanan Pangeran Dipanegara tersebut meskipun telah berhasil dipadamkan, namun bukan berarti mati. Bahkan, lebih dahsyat lagi terjadi. Nyi Ageng Serang diantaranya terus melanjutkan perjuangan itu. Hanya saja, sejarah tersebut tidak tercatat, hanya menjadi sejarah lisan. Di sini, perlu diperhatikan lagi terhadap otentikasi hasil sebuah tulisan dan kebenarannya. Untuk melacak kebenaran sejarah lisan tersebut, maka mau tidak mau, harus ditelusuri sejarah haliah. Sejarah aktivitas yang menjadi esensi dari gerakan massal tersebut. Yang mau tidak mau, juga harus mendedah sejarah tarekat, terutama tarekat yang dipegang (i’timad) dan dijalankan oleh Pangeran Dipanegara.
Konflik sosial pada abad ke-19 pada aras fiqh dan tasawuf memang dipertajam. Di sini, posisi kehati-hatian yang disikapi oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari terhadap perkembangan tarekat di tanah air pada eranya. Jika tidak demikian akan menjadi polemik dan konflik tersendiri yang bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bagaimanapun aras tarekat merupakan satu-satunya jalan yang dapat menggerakkan kesadaran sosial dalam sekejap. Tidak usah jauh-jauh, seorang santri yang disuwuk dengan media tertentu akan timbul keberanian dirinya karena sudah kebal dan tidak mempan peluru untuk menghadapi musuh. Di sini pula urgensi sebuah tarekat mempengaruhi gelombang ideologi yang dapat mengalahkan sentimen ideologi-ideologi lain.
Dari kondisi yang sangat rentan ini, tarekat menjadi aktivitas dan amaliah tersembunyi bagi kalangan kyai pondok-pondok pesantren. Mereka mengedepankan pelajaran-pelajaran “text books” daripada aktivitas rutin seperti wirid dan zikir. Aktivitas wirid dan zikir kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Terlalu banyak aliran tarekat tentu akan semakin mempertajam perbedaan dan tidak berujung pada kesimpulan. Melihat dari sudut pandang awam, banyaknya aliran-aliran tarekat telah membawa petualangan-petualangan spiritualis menjadi semakin tidak stabil dan mengancam kondisi umum masyarakat. Maka, kondisi sosial pun harus dikembalikan kepada posisi yang paling rasional, tekstualitas al-Qur’an dan hadis. Pada posisi ini pula kemudian, syariat dapat didamaikan.
Penulis: Goesd
Editor: Goesd