Konsep teologi Ahlussunah wal Jama’ah yang dilahirkan oleh Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari (873-936 Masehi) sudah final sebagai rumusan ideologi mayoritas umat Islam, a single majority in culture, di dunia. Bahkan, di Indonesia, sudah menjadi semacam Undang Undang Dasar bagi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang disebut Qanun Asasi. Hanya saja, realitas kemanusiaan (الواقعية الانسانية) berjalan dinamis sehingga memerlukan pemaknaan ulang. Kalau mau kerja besar memang diperlukan rekonstruksi, tapi gradual saja, alamiah. Oleh karena itu, melalui forum-forum resmi organisasi seperti muktamar, musyawarah nasional, bahtsul masail, halaqah, dan lain-lain berfungsi untuk memaknai lagi praktik-praktik ke-Aswaja-an di tubuh jam’iyah. Sehingga antara nalar teoretik dan nalar praktik seiring sejalan. Hal ini yang sering tidak dipahami oleh kalangan di tingkat warga. Kemunduran bisa terjadi manakala problem-problem kemanusiaan hanya bersandar pada tekstualitas ibarah. Harus komprehensif, dilihat dari berbagai aspek pendekatan. Dengan demikian, konsep dasar Ahlussunah wal Jama’ah tetap bisa terjaga.
Jika pada masa Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) titik tekan penerapan Ahlussunah wal Jama’ah pada Pribumisasi Islam, maka Buya Said memiliki konsep peradaban yang terstruktur ke dalam empat elemen, tsaqafah, tamaddun, hadlarah, dan adab. Empat elemen ini yang dapat menjadi titik tolak Ahlussunah wal Jama’ah tetap relevan.
Bagaimanapun empat elemen tersebut dapat jadi penyangga umat Islam Indonesia atau Nusantara pada tataran geopolitik di tingkat dunia. Dunia tidak bisa dipersatukan dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Peran kenabian (profetik) adalah kemanusiaan. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui Human Right sudah bagus untuk menciptakan perdamaian abadi di dunia. Tapi, belakangan muncul semacam ketidakadilan yang perlu terus diperjuangkan.
Unifikasi agama, dengan agama apapun, sebagai pemersatu tidak akan berhasil. Hanya dengan nilai-nilai kemanusiaan, dunia bisa dipersatukan. Maka, keadilan dalam menciptakan kemakmuran menjadi satu-satunya cara. Dalam hal kemakmuran ini, Indonesia belum memiliki rumusan yang jelas dalam praktiknya. Dulu, pada awal Proklamasi 1945, pernah muncul ide untuk membentuk Kementerian Kemakmuran. Tapi, itu gagal hingga sekarang. Artinya, cita-cita negara dan bangsa untuk memajukan keadilan dan kemakmuran belum final. Tugas-tugas Ahlussunah wal Jama’ah (terutama, Al Nahdliyah) belum selesai (dan tidak akan selesai) hingga nanti, karena gangguan akan terus datang menerpa.
Memang baik untuk kembali kepada kehidupan Al Sunnah dan Al Salafiyah yang menjadi dasar berperadaban umat Islam di dunia, bahkan penting (untuk tidak dikatakan wajib). Tapi, tidak dalam arti stagnan, berhenti pada teks yang mengarah kepada konservatisme.
Cirebon, 4 Mei 2022.