Sebuah karya sastra adalah tafsir terhadap realitas yang melingkupinya pada ruang dan waktu tertentu. Sehingga memerlukan bukti-bukti faktual dan otentik dari proses historiografi yang diperlukan. Misal, dari segi artistik, mungkinkah pada zaman Candi Borobudur didirikan sudah ada binatang kuda yang digunakan oleh raka-raka (raja-raja) pada saat itu? Untuk mengetahui hal tersebut, maka diperlukan data-data arkeologis, baik berupa relief dan arca peninggalan, juga naskah-naskah yang ditulis pada zaman yang dekat dengan peristiwa bila saja ada.
Selayak historiografi, sebuah karya sastra pada dasarnya menyajikan sebuah tafsir peristiwa yang didasarkan dari bukti-bukti atau fakta-fakta terjadinya peristiwa.
Namun demikian, kebanyakan novel-novel yang tersaji di hadapan pembaca terdapat tafsiran yang berlebihan dari bukti-bukti atau fakta-fakta yang disajikan. Sehingga imajinasi pengarang telah masuk terlalu jauh atau lebih dominan daripada peristiwa itu sendiri. Istilahnya, pengarang jauh lebih tahu daripada peristiwa yang pernah terjadi.
Memang, sebuah novel seimajinatif mungkin tidak bisa terlepas dari ikatan ruang dan waktu tertentu. Meskipun isi dan narasinya bersifat imajinasi dan fantasi si pengarang. Namun, apabila imajinasi dan fantasi tersebut terlalu jauh apalagi lebih dominan, maka yang diharapkan agar bukti-bukti atau fakta-fakta yang disajikan akan berbunyi atau hidup dengan dirinya akan sia-sia saja. Karena, pembaca akan digiring ke alam pengarang yang sebenarnya telah gagal menyampaikan pesan dan kesan dari bukti-bukti atau fakta-fakta yang dimilikinya.
Kegagalan ini sering terjadi. Sehingga tanpa disadari, pembaca digiring untuk lebih percaya kepada si pengarang daripada peristiwa sebenarnya yang seharusnya bisa dikritik.
Dalam hal kritik ini, sebuah karya seharusnya memiliki pesan kritik, baik secara langsung maupun tidak. Terlepas dari itu, pembaca akan jauh lebih merdeka. Lebih bebas menilai dan mempertimbangkan bacaannya.
Mungkin, barangkali baru karya-karya Pramoedya Ananta Toer (PAT) dan Ahmad Tohari (AT) yang berhasil menyajikan sebuah peristiwa dan fakta yang berbicara atas nama diri mereka sendiri, tanpa ada intervensi pengarang (penulis) terlalu jauh. Dari karya-karya novel yang terlahir dari tangan-tangan PAT dan AT, sejak dari lembar pertama hingga berikutnya, pembaca sudah disuguhkan dialog-dialog objektif. Fakta berbicara atas nama dirinya sendiri. Dialog-dialog objektif tersebut menegaskan diri mereka, dan tentunya aktor-aktor di dalam cerita, tidak terintervensi oleh pengarang. Bagaimana lakon Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) misalnya bebas untuk mengatakan dirinya di akhir cerita sebagai tokoh cerita yang menggilakan diri. Meskipun ide cerita tersebut berasal dari si pengarang, tapi pembaca diberi kebebasan untuk menafsirkan keinginan dan nasib Srintil pada episode dirinya. Begitu pula, ketika PAT menyajikan lakon Mpu Gandring dalam Arok Dedes sebagai sosok penyelundup bahan baku besi untuk dijadikan senjata perang, tentu jauh dari imajinasi pembaca selama ini yang selalu mengasumsikan hanya sosok Arok yang menciptakan peran dan peristiwa. Dari situ, Mpu Gandring sebenarnya sedang membicarakan dirinya sebagai tokoh dan lakon yang berperan penting terhadap peristiwa dan kejadian.
Dengan demikian, cara menikmati sebuah karya novel yang enak dibaca ketika pembaca dapat menafsirkan sendiri atas lakon-lakon yang ada di dalam cerita. Tidak larut ke dalam tafsiran dan opini pengarang (penulis). Kalaupun memang pengarang (penulis) tak mampu karena harus mengejar target halaman dan ingin tafsirannya dibaca dan dimengerti, maka alangkah baiknya jika kemudian sang pengarang menulis sebuah opini saja agar jelas proporsinya.
Cirebon 6 Mei 2022.