Dinasti Ayyubiyah (1171-1341 Masehi)
Dinasti ini didirikan oleh suku-bangsa Kurdi dengan tokoh utama Sholahuddin Al Ayyubi (1138-1193 Masehi). Dikenal dengan sebutan Salahuddin arau Saladin menurut lidah orang Eropa.
Nama Sholahuddin Al Ayyubi cukup dibesar-besarkan oleh parapenulis sejarah, baik dari kalangan muslim sendiri maupun nonmuslim. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan sentimen agama sebagai alasan utama dalam berperang.
Karir Sholahuddin Al Ayyubi diawali dari kedudukannya sebagai wazir (menteri) dari Dinasti Fathimiyah. Puncak kemesraan hubungan antara Dinasti Fathimiyah dan Kekaisaran Bizantium, menyebabkan Sholahuddin Al Ayyubi membangun hubungan koalisi dengan Nuruddin (1118-1178 Masehi) dari Dinasti Zankiyah di Turki.
Dinasti Zanki (disebut juga Zengi atau Zangi) bertempat di Oghuz Turki yang menguasai wilayah Syria dan Utara Irak. Dinasti Zanki merupakan salah satu suku-bangsa Turki yang membentuk Kekaisaran Dinasti Seljuk.
Setelah Dinasti Fathimiyah berhasil digulingkan, kemudian Sholahuddin Al Ayyubi menabalkan diri sebagai sultan penguasa di Mesir dan Syria.
Petualangan suku-bangsa Kurdi di bawah pimpinan Sholahuddin Al Ayyubi cukup memukau parapenulis sejarah. Karena, perang agama (Reconquista) menjadi catatan emas bagi kalangan sejarawan muslim dan nonmuslim. Terutama lagi, ketika suku-bangsa Israel memerlukan tanah air untuk mendirikan sebuah negara. Mereka memerlukan landasan sejarah, sejak mereka terusir dari Bumi Mesir pada masa Nabi Musa As. Meskipun sejarawan seperti Ibnu Khaldun tidak terlalu respek pada persoalan perebutan Kota Yerusalem tersebut.
Sholahuddin Al Ayyubi lahir di Kota Benteng Tikrit, Utara Irak. Ayahnya, Najmuddin Al Ayyubi adalah penguasa suku-bangsa Kurdi di Kota Mosul yang mendapat pengakuan dari Imaduddin Zanki dari Dinasti Seljuk. Setelah berhasil direbut, wilayah Baalbek, Libanon, pada 1139 Masehi, diserahkan wewenangnya kepada Najmuddin. Di Baalbek, Sholahuddin Al Ayyubi mendapat tempaan ilmu-ilmu kemiliteran, strategi perang, dan ilmu-ilmu lainnya.
Sholahuddin Al Ayyubi bersama pamannya, Syirkuh, mendapat kesempatan mempertahankan Mesir ketika mendapat serangan dari koalisi Kekaisaran Bizantium dari Eropa.
Dua pandangan berbeda muncul dari pihak Bizantium dan Kesultanan Seljuk. Keduanya sama-sama ingin menanamkan pengaruh kuat dan penguasaan penuh terhadap perekonomian di perairan Mediterania. Pertama, koalisi (negara-negara sekutu) di Eropa yang merasa terancam karena sepanjang pantai Utara Afrika dari Turki hingga selat Gibraltar terus dikuasai oleh suku-suku-bangsa Barber, Arab, Turki, Kurdi, dan lain-lain. Sehingga tidak membuat leluasa penguasa Kekaisaran Bizantium di Timur dan Inggris Raya di Barat. Pun, sering secara sporadis negara-negara di Afrika Utara dan Asia Barat melakukan serangkaian serangan hingga ke wilayah Eropa. Lemahnya Dinasti Fathimiyah memberi kesempatan, koalisi suku-suku-bangsa Eropa untuk merebut Mesir dan selanjutnya Damaskus dengan atas nama agama.
Pandangan kedua, Kekaisaran Seljuk di Turki melihat peluang lemahnya Dinasti Fathimiyah karena terlalu banyak kompromi dan campur tangan pihak Kekaisaran Bizantium yang telah dijalin sejak lama, lalu mengutus Sholahuddin Al Ayyubi untuk menggagalkan pemerintahan Al Adid, pemimpin terakhir Dinasti Fathimiyah, untuk merebut Mesir. Selanjutnya, dengan kekuatan militernya, Sholahuddin Al Ayyubi memperluas pengaruhnya hingga ke Syria, Nejd (Mekah dan Madinah), hingga ke Yaman. Dengan kekuatan besar koalisi negara-negara suku-suku-bangsa Barber, Arab, Turki, Kurdi, Mamlukiyah, dan suku-suku-bangsa kecil lainnya, Sholahuddin Al Ayyubi menyatakan perang terhadap koalisi Kekaisaran Bizantium, raja-raja Eropa, dan Inggris Raya.