Dalam salah satu puisinya yang berkaitan dengan awal mula penciptaan, Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) menyatakan bahwa ketika Allah Ta’ala berfirman, maka sesuatu yang tidak ada sekalipun langsung punya telinga, menyimak dan patuh terhadap perintah hadiratNya.
Yaitu, ketika Allah Ta’ala menghendaki apa yang diinginkan untuk muncul sebagai wujud yang konkrit. Dalam beberapa ayat Al Quran, kehendak untuk memunculkan sesuatu itu disimbolkan dengan idiom “Kun.” Sebuah kata perintah yang ketika “diucapkan” oleh hadiratNya langsung memiliki efek wujud bagi apa saja yang dikehendaki tanpa dibatasi oleh jeda waktu. Sungguh, betapa hebat Allah itu. Akan tetapi jelas bahwa bukan betul-betul lafal “Kun” itu yang diungkapkan oleh Allah Ta’ala karena tidak ada satu pun dari firmanNya yang digandoli baik oleh huruf maupun oleh suara.
Lain halnya dengan pandangan sufistik Ibn ‘Arabi. Menurut si Belerang Merah itu, yang menjadi objek dari bagi perintah “Kun” itu bukanlah merupakan sesuatu yang sama sekali tidak ada sebagaimana ditengarai oleh si pengarang Kitab Matsnawi itu. Menurutnya, yang menjadi obyek “Kun” itu tak lain adalah “konsep” yang sudah rapi dan selesai di dalam Allah Ta’ala mengenai apa saja yang dikehendaki untuk wujud.
Dapat dipastikan di sini bahwa semua realitas itu sesungguhnya secara hakiki merupakan realisasi dari “konsep” yang bersemayam di dalam diri Allah Ta’ala. Dan keberadaan “konsep” itu sama sekali tidak pernah didahului oleh ketiadaan. Dari sini dapat diungkapkan pula bahwa seluruh makhluk itu sebenarnya memiliki dua label sekaligus. Yaitu, label azali dan kebaruan. Label azali itu sama sekali tidak tersentuh dan tidak berurusan dengan waktu. Karena waktu tak lain adalah nafas bagi kebaruan. Sedang dimensi kebaruan merupakan pantulan dari dimensi keazalian.
Melalui label keazalian itu kita bisa bertemu dan bertegur-sapa dengan Allah Ta’ala lewat segala sesuatu yang kita jumpai. Dengan demikian, pastilah hidup kita tidak akan pernah sepi dari hadiratNya. Bagaimana mungkin menjadi sepi, wong kita ini hanyalah gugusan titik yang dikepung oleh segala sesuatu yang kita tidak bisa menjangkau di mana tepinya.
Sementara melalui pintu kebaruan itu kita bisa bersua dan bercengkerama dengan sesama dan makhluk-makhluk lainnya. Kita, sebagaimana juga makhluk-makhluk yang lain, merupakan suatu konvergensi yang sangat mengagumkan antara ketakterhinggaan yang terhubung dengan hadiratNya secara inheren dengan dimensi empiris yang berubah-ubah yang pada akhirnya musnah di alam kehidupan yang fana ini. “Walaupun kau tiada duanya di masamu,” ungkap Maulana Jalaluddin Rumi dalam salah satu puisinya, “sebagaimana orang-orang lain yang telah pergi, kau pun juga akan meninggalkan alam kehidupan yang teramat singkat ini.”
Label keazalian itu mengajarkan kepada kita untuk senantiasa bersandar dan bergantung kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh tidak. Di samping karena tidak bisa bernisbat kepada yang lain, juga karena memang sejatinya tidak mungkin ada satu pun makhluk yang bisa membebaskan diri dari kebersandaran dan kebergantungan tersebut.
Walaupun secara langsung harus ditandaskan dengan segera di sini bahwa bersandar dan bergantung itu adalah satu hal, sementara merasakan keduanya jelas merupakan sesuatu yang lain. Merasakan keduanya adalah karunia spiritual yang sangat besar di dalam kehidupan ini. Itulah awal mula seorang salik merasakan pedih sekaligus nikmat digencet oleh rasa butuh yang akut terhadap Allah Ta’ala. Itulah pula awal mula dia bercumbu dengan hadiratNya.
Paranabi, pararasul, parawali dan orang-orang saleh yang bertudungkan makrifat adalah mereka yang tidak saja sekadar merasakan nikmatnya bersandar dan bergantung itu secara spiritual, tapi lebih dari itu mereka bahkan tenggelam di tengah samudra ketauhidan dan keilahian di mana mereka dengan sepenuh hati menghayati diri mereka sebagai seruling dan melodi yang secara utuh senantiasa dimainkan oleh kepiawaian dan kemolekan tangan hadiratNya.
Aduhai, aduhai. Sungguh, betapa menggetarkan, betapa mengharukan, betapa memabukkan. Sebuah pesta pora kelezatan ruhani di mana musik, puisi dan lukisan yang dihasilkan oleh para bijak bestari yang sangat piawai dan handal sekalipun tidak sanggup mempresentasikan dengan maksimal dan sempurna.
Dengan berbekal hidangan cinta ilahiat itu mereka menyapa dan bergaul dengan kehidupan, membantu dan melayani makhluk-makhluk, membimbing, dan menghalau sesama menuju kepada keindahan dan keagungan hadiratNya.
Yogyakarta, 22 Maret 2022