Saya sengaja menyusun tulisan ini untuk mengenang almarhum almaghfurlah Kang Pandi (Dr. KH. Affandi Mochtar MA), yang lahir 12 Februari 1962 dan wafat 09 Juli 2021, di Cirebon. Sebagaimana diajarkan guru-guru kita, bila seorang sudah meninggal, mari kita ingat kebaikan-kebaikan darinya. Dan bagi saya dan teman teman saya, Kang Pandi adalah orang baik, yang banyak memberi inisiatif, mendorong agar kita bergerak. Beliau adalah inisiator dan penggerak sejati. Sebelum ada istilah “Kader Penggerak”, Kang Pandi ini, menurut saya, beliaulah penggerak sejati, yang banyak menggerakan simpul simpul anak-anak muda NU. Berikut ini sekedar apa yang saya tahu dan apa yang saya saksikan, mengenai komitmen, inisiatif, upaya dan karya Kang Pandi dalam menginisiasi gerakan-gerakan muda NU, baik ketika di Cirebon maupun di Jakarta, dan di tempat lainnya.
Perkenalan Awal
Saya mengenal Dr. KH Affandi Mochtar MA (Kang Pandi) ini di akhir 1999 dan awal tahun 2000, saat akhir saya kuliah di Yogyakarta. Karena waktu itu ada gerakan menarik, yang tak biasa, dan menarik anak-anak muda alumni pesantren di Cirebon. Gerakan itu dipelopori di antaranya oleh Kang Pandi. Kang Pandi bersama Kang Marzuki Wahid, Kyai Husein Muhammad, Syarief Utsman Yahya (almaghfurlah), Kyai Syakur Yasien dan sejumlah intelektual pesantren lainnya.
Waktu itu di antara kegiatan yang dilakukan oleh Kang Pandi dan para sahabat intelektual pesantrennya ini di antaranya adalah mengadakan “Bedah Kitab”, semacam bedah buku, tetapi kali ini yang dibedah adalah kitab-kitab yang dikaji di pesantren. Jadi mengaji atau menelaah kitab-kitab pesantren, tapi bukan dengan cara pesantren, yang dibaca, pakai utawi iki iku, dipahami muradnya, tetapi juga ditelaah, dikaji latar belakang penulis dan latar belakang penulisannya, kajian dan komentar para ulama terhadapnya, termasuk juga dilakukan tinjauan kritis terhadap kitab. Seingat saya ini diadakan beberapa kali, di Madrasah al-Hikamus Salafiyah (MHS) Babakan Ciwaringin sekali, maaf tahunnya lupa. Sekali dilaksanakan di Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun. Kemudian di pesanten Kempek juga pernah sekali. Di masjid Tegalgubug juga pernah sekali, dan di masjid Ujungsemi, ini masjid kampung saya pernah sekali. Lagi-lagi maaf saya lupa tahunnya. Seingat saya, waktu di masjid Ujungsemi, kitab yang dibedah adalah kitab Muhadzab. Yang membedahnya waktu itu adalah Kyai Syarif Utsman Yahya (almaghfurlah), Kyai Husein Muhammad, Dr. Sumanta, dan moderatornya Kang Marzuki Wahid, kalau tidak salah. Hadir juga Dr. Sa’dullah (Kang Sa’dun) Dr. Moqsith Ghazali. Juga, kyai kyai setempat, seperti Kyai Salimul Farihin, Ketua NU Ranting, Ustadz H. Qosim MA dan beberapa ustadz setempat. Dan sebenarnya selain di beberapa tempat, yang saya sebutkan tadi, mungkin juga acara bedah buku ini diselenggarakan gerakan Kang Pandi dkk inteletual pesantrennya ini di beberapa tempat lagi. Maaf saya tidak bisa menyebutkan satu persatu di sini, sudah lupa, dan tidak sempat tercatat waktu itu.
Tentu acara “Bedah Kitab” ini dalam pelaksanaannya, tidak selalu mulus. Ada memang beberapa kritikan, yang kadang membuat kegiatan ini tidak selalu dilaksanakan secara rutin. Di antara kritikan itu datang dari beberapa kyai dan santri pesantren sendiri, misalnya, bahwa acara bedah kitab ini dianggap mendesakralisasi kitab kuning, mengkritik-kritik kitab kuning. Oleh Kang Pandi dkk inteletual pesantrennya, kritik ini tidak dilawan atau diklarifikasi, tetapi Kang Pandi dkk inteteltual pesantrennya, terus bergerak, melakukan hal-hal produktif lainnya lagi. Seperti misalnya, Kang Pandi terus menggrakan teman teman muda NU untuk selalu kumpul-kumpul, selalu berjejaring satu sama lain. Ini di antaranya kemudian yang memunculkan kegiatan Silaturahmi Anak-Anak Muda NU Cirebon, semacam Halal bi Halal, yang diselenggarakan setiap Syawal setiap tahunnya. Sejak 1999, saya mengikuti kegiatan yang digagas Kang Pandi dkk-nya ini. Waktu itu saya belum lulus kuliah dari Yogya. Seingat saya, saya ikut pertama kali kegiatan ini tahun 1999, kegiatan sulaturahmi anak muda NU-nya diselenggarakan di Losari, di rumah Kang Marzuki Wahid. Seingat saya waktu itu, Kang Pandi dengan sangat menarik menyampaikan peta gerakan anak muda pesantren di Cirebon. Beliau menekankan keterlibatan anak-anak muda pesantren dengan berbagai kegiatan strategis. Untuk membangun itu, menurut beliau adalah perlu adanya sense untuk bergerak yang sama, “Kalau ada kumpul-kumpul anak muda NU, mau datang saja, sekarang ini sudah cukup, karena ini menandakan sense untuk bergerak yang sama”, ujar beliau waktu itu. Masih banyak yang beliau sampaikan waktu itu, tapi yang paling saya ingat, kita mesti berjejaring, bergerak dan saling menguatkan. Belakangan, sepululuh tahun atau lima belas tahun terakhir, kegiatan kumpul kumpul anak muda NU setiap Syawal ini dinamakan Halal bi Halal Muhajirin NU, yang akhir akhir ini lebih popular dengan Silaturahim KBNU (Keluarga Besar NU).
Dari Gerakan Silaturahmi ke Aksi
Rupanya apa yang dikatakan Kang Pandi, bahwa yang penting punya kepedulian untuk hadir dalam acara acara bersama anak muda NU dulu, itu benar dan terbukti. Rupanya, gerakan silaturahmi ini kemudian membikin greget anak-anak muda dan para intelektual jebolan pesantren yang ada di Cirebon untuk melakukan gerakan gerakan atau aksi aksi yang lebih ril lagi. Misalnya saja, ada pendirian Pengurus Cabang (PC) Lembaga Kajian Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Cirebon yang saat itu dipelopori Kang Marzuki Wahid. Di mana Kang Marzuki Wahid juga aktif sebagai aktifis Pengurus Pusat Lakpesdam di Jakarta. Dan ada juga kegiatan atau posko diskusi serius tapi nyantai, waktu itu tempatnya difasilitasi Mas Johandi, dan nama gerakanya adalah Dinamika Forum. Di Dinamika Forum di tempatnya Mas Johandi inilah, saya bertemu anak-anak muda NU yang belakangan jadi tokoh-tokoh hebat. Di sini saya mulai mengenal Nurruzaman, yang sekarang jadi staff khusus menteri agama RI, juga saya mengenal Bintang, akitif muda PMII Cirebon, dan beberapa yang lainnya.
Sayang, karena saya harus melanjutkan studi S2 di IAIN Bandung, pada tahun 2000 sampai 2002, saya tidak tahu persis perkembangan gerakan anak-anak muda NU di Cirebon, yang diinisiasi Kang Pandi dkk-inteletual pesantrennya ini.
Selain Lakpesdam Cirebon dan Dinamika Forum, pada 1999 ini, para kolega Kang Pandi, seperti Kyai Syarif Utsman Yahya dan Kyai Husein, rupanya tidak hanya sibuk pada kajian dan diskusi, tetapi juga aktif merambah dunia politik praktis. Di mana Kyai Syarif Utsman Yahya bersama Gus Dur mendirikan PKB dan akhirnya beliau duduk di kursi DPR Pusat untuk Fraksi PKB. Dan juga Kyai Husein Muhmmad akitf di PKB dan duduk sebagai anggota DPRD untuk Fraksi PKB. Meskipun kedua tokoh teman kolega Kang Pandi ini menjadi pejabat di Kursi Dewan, tetapi kedua tokoh ini tetap, membuka ruang ruang diskusi, baik di pesantrennya maupun di tempat-tempat lainnya.
Dari Gagasan ke Gerakan Terlembaga
Saya kemudian kuliah S2 ke Bandung, setahun sebelum lulus, tahun 2001, saya dengar ada gerakan BEDUG Anti Kekerasan terhadap perempuan yang secara nasional dipelopori Ibu Ny. Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, di Cirebon sendiri berdiri Fahmina Institute. Setelah saya lulus S2, tahun 2002, saya mendapati Fahmina Institute yang berdiri di Cirebon juga di antaranya didirikan oleh Kang Pandi. Fahmina Institute didirikan oleh beberapa tokoh pendiri, yakni Kang Pandi, Kyai Husein Muhammad, Kang Faqihuddin Abdul Kodir dan Kang Marzuki Wahid.
Pendirian Fahmina Institute sendiri, tidak terlepas dari gerakan-gerakan anak-anak muda NU di Cirebon sebelumnya, yang di antaranya digagas dan dipelopori oleh Kang Pandi. Sebegaimana telah disampaikan di atas, sebelum berdiri Fahmina di Cirebon, ada gerakan Dinamika Forum, ada Lakpesdam NU Cirebon, ada gerakan Silaturrahmi Intelektual Muhajirin NU Cirebon setiap Syawal, ada gerakan Bedah Kitab di pesantren-pesantren Cirebon.
Selulusnya saya dari S2 di Bandung, saya pun pada tahun 2003, gabung bersama Fahmina Institut yang dipimpin Kang Faqihuddin Abdul Kodir. Di Fahmina inilah saya bertemu Kang Faqih, akademisi, penulis, kyai muda yang cerdas dalam berfikir dan bertindak, istiqomah dalam membesarkan dan mengembangkan lembaga. Hingga Fahmina yang awalnya biasa saja, terus membesar dan mendapatkan banyak penghargaan. Saya menyaksikan sendiri Kang Faqih day to day, mengawal Fahmina, dengan sabar dan tekun membimbing dan mengarahkan kami dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pemberdayaan kepada masyarakat yang diprogramkan Fahmina. Saya bersama Marzuki Rais, Rosidin, Rozikoh, Tohir, Vera dkk lainnya, ngguyub berproses bersama, bergerak bersama setiap hari bersama Kang Faqih ini. Di luar teman teman yang memang setiap hari aktif di Fahmina, kami juga sering dikunjungi tokoh tokoh muda NU, yang namanya sudah dikenal secara nasional, seperti Ahmad Baso, Maman Imanulhaq, Mahrus el-Mawa dan lain-lainnya
Sementara itu Kang Pandi sendiri meski sibuk sebagai pejabat di Kementerian Agama RI waktu itu, tetap aktif dalam rapat rapat dewan pendiri Fahmina, Kang Pandi juga dengan sabar menemani perjalanan dan perkembangan Fahmina Institute, dari awal sampai sekarang ini, Kang Pandi sering memberi ide-ide solutif bagi perkembangan Fahmina. Gerakan Fahmina Institute sendiri yang fokus pada pembelaan terhadap hak-hak perempuan, kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki, terus berkembang.
Pada tahun 2008, Fahmina Institute mendirikan kampus, ISIF (Institut Studi Islam Fahmina). Dan pendirian ISIF ini, selain karena usaha dan kerja keras Kang Faqih, Kang Marzuki Wahid dan Kyai Husein Muhammad, Mahrus elMawa, Marzuki Rus , juga ISIF berdiri waktu itu atas jasa dan dukungan Kang Pandi, yang waktu itu menjadi pejabat di Kementerian Agama RI. Jadi dalam hal ini, komitmen Kang Pandi, bukan hanya sebatas gagasan, tetapi ia penuh komitmen, bagaimana gagasan itu menjadi gerakan, bahkan terlembagakan, seperti Fahmina Institute dan ISIF.
Selain di Fahmina, saya juga sempat dipesani Kang Pandi, agar aktif di NU. Karena itu ketika Kang Marzuki Wahid mengamanahkan saya, untuk jadi “Ketua” Lakpesdam NU Cirebon, saya manut saja. Saya beri tanda petik pada kata Ketua itu, karena saya merasa itu amanah dan saya ditunjuk saja oleh pendiri Lakpesdam NU Cirebon, Kang Marzuki Wahid, karena terjadi kekosongan kepengurusan. Jadi pada 2006 sd 2008, selain di Fahmina, saya bersama Marzuki Rais dan teman teman lainnya, mengurusi Lakpesdam NU Cirebon. Entahlah apa yang saya lakukan ini sudah sesuai Kang Pandi atau belum. Tetapi semoga inilah yang beliau maksud, walaupun saya merasa apa yang saya lakukan belum apa apa, jauh dari ideal.
Energi Menggerakkan yang Terus-Menerus
Sayang sekali pada tahun 2009, saya harus bertugas menjadi dosen PNS di Ciputat, dosen dpk dari UIN di-dpk-kan di IIQ Jakarta. Di satu sisi saya senang sekali, karena bisa berkiprah, mengajar dan mengabdi di Perguruan Tinggi, dan ini sudah lama saya cita-citakan. Di sisi lain, saya merasa sedih, karena terpisah dari gerakan dan jaringan anak-anak muda NU di Cirebon, yang sedang hangat-hangatnya.
Tetapi di Ciputat pun saya mendapati jejak-jejak gagasan dan inisiatif Kang Pandi ini. Saya mendapati ada PSPP (Pusat Studi Pengembangan Pesantren), yang pendiriannya dipelopori di antaranya oleh Kang Pandi. Yang pada tahun 2009-2010 dst, di bawah bimbingan Kang Dr. Suwendi, Kang Dr. Adib dan Kang Dr. Syahiron Syamsuddin. Para aktifis diskusi di PSPP, tahun 2010 -2013 , yang sempat saya ketahui adalah Kang Jamaludin Muhammad (putra Kyai Tamam Kamali), Muhammad Afifi, M. Idris Mas’udi, dan beberapa mahsiswa UIN Jakarta lainnya. PSPP ini tahun 2009 sampai 2014-an rajin menyelenggarakan diskusi rutin yang diikuti mahasiswa, baik mahasiswa S1, S2 maupun S3. Padahal waktu itu kondisi Ciputat yang tadinya ramai diskusi, mulai redup, tapi saat itu, PSPP masih tetap rajin menyelenggarakan diskusi. Saya sering engikuti diskusinya.
Saya ingat betul, pada tahun 2012, PSPP mengadakan workshop atau kursus Maqâshid Syari’ah. Ini berjalan sekitar tiga bulanan, dengan narasumber tunggal, Dr. KH. Wawan Arwani Syaerozie, yang waktu itu baru lulus S3 dari Maroko. Dan saya adalah peserta aktif yang mengikuti workshop ini dari awal sampai akhir. Selain itu, PSPP juga, rajin menerbitkan jurnal ilmiah yang terbit setiap semester, namanya International Journal of Pesantren Studies.
Selain itu, sejak 2010, Kang Pandi juga menginisiasi pendirian Rumah Kitab, lembaga yang pada awalnya bergerak untuk mengkaji segala hal yang terkait kitab kuning. Waktu itu ada sahabat, namanya Mukti Ali, alumni al-Azhar Kairo Mesir, bersama Kang Jalamuddin Muhamamd (putra Kyai Babakan Ciwaringin Cirebon), sowan silaturahim ke Kang Pandi. Kang Pandi menawarkan gagasan pendirian Rumah Kitab, sebuah lembaga yang pada awalnya disengaja mengkaji segala hal terkait kitab kuning. Gagasan Kang Pandi tersebut disambut oleh Mukti Ali dan Jamaluddin Muhammad. Kegiatan pertama keduanya ditugaskan, difasilitasi, dibiayai Kang Pandi, untuk melacak, mengumpulkan dan mengoleksi kitab-kitab kuning yang dijadikan kajian di pesantren-pesantren di Jawa. Seingat saya jumlah kitab kuning yang terkumpul saat itu, yang bisa dikumpulkan oleh Mukti Ali dan Jamaluddin Muhammad, sampai 1000 judul kitab kuning dengan berbagai bidang kajian, baik fiqih, ushul fiqih, tashawuf, hadis, do’a-do’a dan lain lainnya. Kang Pandi menginginkan agar kitab-kitab kuning yang terkumpul, yang demikian banyak itu, dianotasi, satu persatu, sehingga nantinya terkumpul data berbagai judul kitab kuning dengan berbagai bidangnya, lengkap dengan anotasi, keterangan singkat atas masing-masing kitab tersebut. Mukti Ali dan Jamaluddin Muhammad, merasa kewalahan mengerjakan anotasi sekian banyak kitab bila hanya dikerjakan berdua, karenanya lalu mengajak saya, Rolan Gunawan, dan sahabat sahabat muda NU lainnya untuk mengerjakan gagasan Kang Pandi ini. Selesai dengan pekerjaan ini, Kang Pandi meminta teman teman mud a ini untuk menyellenggarakan Bahtsul Masail ala NU, tetapi diselenggarakan oleh Rumah Kitab. Selain anotasi Kitab Kuning dan Bahtsul Masail, Kang Pandi juga meminta teman-teman yang di rumah kitab agar belajar dan mengeerjakan kerja-kerja penelitian. Dan karena pekerjaan di Rumah Kitab semakin banyak, Kang Pandi ketemu Kang Muslikh (adiknya Kang Faqihuddin Abdul Kodir) dan Mba Lies Marcoes, untuk membantu merapikan manajemen kelembagaan Rumah Kitab.
Di tangan Mba Lies Marcoes, Rumah Kitab yang awlanya hanya berfokus pada Kitab Kuning, dikembangkan oleh Mba Lies menjadi Lembaga yang juga mendiskusikan isu-isu strategis lebih luas lagi, dengan manajemen kelembagaan yang lebih rapih. Sayang sekali saya hanya bisa bergabung sampai 2010 saja, karena saat itu saya sendiri selain sibuk dengan tugas-tugas dosen juga mulai melanjutkan studi di Ciputat. Tapi tetap jika ada diskusi diskusi rutin bulanan, saya masih ikut terlibat.
Mukti Ali, anak muda lulusan al-Azhar, yang dibesarkan Kang Pandi, selain di Rumah Kitab, ia juga memimpin Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DKI Jakarta. Saya sering diajak hadir mengikuti Bahtsul Masail PWNU DKI ini. Saya hadir dan aktifi di acara Bahtsull Masail ini, bukan berarti karena saya mengerti dan menguasai dengan baik tentang kitab-kitab kuning, sebagaimana para peserta Bahtsul Masail yang lainnya. Saya ikut terlibat Bahtsul Masail di NU DKI, lebiih karena ingat pesan Kang Pandi, agar saya bisa aktif di NU. Sekarang Mukti Ali, sahabat muda yang dibesarkan Kang Pandi ini, juga aktif di kepengurusan pusat MUI (Majelis Ulama Indonesia), di komisi Fatwa. Sepengetahuan saya, dan berdasarkan cerita Mukti Ali sendiri, kiprahnya di dunia pengembangan wacana kislaman dan kitab kuning, selain karena ia alumni Pesantren Lirboyo dan alumi al-Azhar, karena juga jasa motivasi dan fasilitasi dari Kang Pandi.
Back to Pesantren: Membangun Kampus dan Merajut Silaturahmi
Kebiasaan memberi inisiatif, memotivasi dan menggerakkan, pada diri Kang Pandi, rupanya tidak pernah padam. Setelah beliau tidak lagi menjabat di Kementerian Agama, beliau tetap hadir dalam acara-acara diskusi di Rumah Kitab, bila diundang dan kebetulann waktu beliau kosong, meski sedang ada di Cirebon, beliau sempatkan datang ke Jakarta.
Di pesantren Babakan Ciwaringin sendiri, setelah beliau punya waktu banyak di Babakan, beliau mengawal kampus yang sejak lama didirikannya, STID (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah) al-Biruni. Pendirian kampus di desa bernama Babakan ini, memicu tumbuh suburnya kampus kampus lain serupa berdiri. Tercatat kemudian ada STAIMA (Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Aly) yang didirikan Pondok Pesantren Muftahul Muta’alimin (PPMM) Babakan. Juga lalu ada Ma’had Aly MHS, lalu beberapa tahun ini berdiri Ma’had Aly Kebon Jambu yang didirikan Pesantren Kebon Jambu Babakan. Memang katanya, dahulu di pesantren Babakan ada STIT (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah), tetapi kemudian diambil pemerintah digeser ke kota Cirebon, yang kemudian menjadi STAIN dan menjadi IAIN Cirebon sekarang ini. Setelah STIT tidak ada, lama di Babakan Ciwaringin tidak ada Perguruan Tinggi. Baru setelah ada STID al-Biruni dan STAIMA Babakan, kini Perguruan Tinggi tumbuh subur di Babakan Ciwaringin. Saya dengan Pesantren Assalafue juga sekarang sedang merencanakan pendirian Perguruan Tinggi. Dengan demikian, bisa dikatakan Kang Pandi, juga merupakan salah seorang inisitaor tumbuh kembang perguruan perguruan tinggi di lingkungan pesantren.
Selain kampus, di Babakan Ciwaringin juga Kang Pandi pernah mengagas penulisan Mushaf Babakan, seingat saya kalau tidak salah itu sekitar 2010, Kang Pandi menggagas adanya upaya penulisan Mushaf Babakan. Gagasan ini sudah dimulai, sudah dibentuk panitia dan sekretariatnya di Babakan. Kegiatan awal sudah dimulai, namun mungkin karena satu dan lain hal, rintisan penulisan Mushaf Babakan ini, hingga kini belum diteruskan. Tidak apa-apa, mungkin di waktu yang akan datang, gagasan bagus ini bisa diwujudkan lebih nyata lagi. Sehingga nanti betul betul ada Mushaf Babakan.
Selain mendorong anak-anak muda, agar rajin melakukan kerja kerja intelektual dan kerja kerja pemberdayaan, Kang Pandi juga merupakan sosok yang dengan sabar selalu berusaha merajut silaturahmi dan jejaring. Kalau di Cirebon Kang Pandi, berhasil mentradisikan kegiatan tahunan berupa “Silaurahmi atau Halal Bi Halal Muhajirin atau Halal bi Halal KBNU” setiap Syawal, maka ketika di Jakarta, di akhir akhir masa tugasnya di Jakarta, Kang Pandi mendoorng beberapa anak muda alumni Babakan Ciwaringin, seperti Dr. Sa’dullah (Kang Sa’dun) agar membikin Majelis Komnuikasi Alumni Babakan yang disingkat menjadi MAKOM ALBAB. Dan gagasan Kang Pandi ini nampaknya ditangkap dengan baik oleh para alumni Babakan, dan jadilah sampai sekarang ada MAKOM ALBAB yang sudah memiliki kepengurusan, dan kegiatan kegiatan kealumnian yang positif dan membangun.
Rasanya tidak akan selesai-selesai jari ini mengetik, untuk mengenang jasa jasa beliau selama ini, baik kepada saya pribadi, kepada teman teman saya, kepada kemajuan pergerakan teman teman muda alumni pesantren, kepada pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Saya menyakiskan apa yang dilakukan Kang Pandi selalu bukan untuk dirinya sidniri atau untuk keluarganya, tetapi selalu untuk orang lain, untuk pesantren, untuk Babakan Ciaringin, untuk NU, untuk kemajuan anak-anak muda NU. Jarang sekali saya menjumpai orang yang mendedikasikan dirinya untuk kemajuan orang lain, seperti Kang Pandi ini. Meski Kang Pandi banyak berjasa kepada banyak orang, kepada banyak lembaga, tetapi ia adalah sosok yang tidak mau kelihaan menonjol di depan, beliau lebih suka bekerja di belakang layer, lebih banyak bekerja nyata dari pada berkata kata. Semoga segala inisiatifnya selama ini, motivasinya selama ini, upaya menggerakkanya selama ini, segala bantuan dan fasilitas yang ia berikan bagi kemajuan orang lain selama ini, dan segala karya lembaganya selama ini, menjadi amal jariah yang akan menolong di alam barzakh dan alam akhirat, sehingga Kang Pandi mendapatkan ampunan dan rahmat Allah, dalam surganya Allah. Amin.