Dalam pendekatan yang digunakan oleh Asy`ariyah, hukum yang berlaku di dalam semesta ini–berdasarkan subjek penetapnya–ada tiga hal: hukum syara`, hukum `adat/`adah, dan hukum akal. Ketiga hukum ini memiliki objek relasi yang berbeda.
Hukum syara` terkait erat dengan persoalan tata aturan hukum syara`/agama, dan kitab suci menjadi salah satu komponen utamanya. Hal ini memuat penetapan atau penegasian suatu hal berdasarkan firman Tuhan dan terelasi erat dengan perilaku manusia yang sudah masuk pada kategori subjek hukum, baik melalui perintah, larangan, anjuran maupun tata cara dari semua hal tersebut.
Dalam hal ini, misalnya pada agama Islam, eksistensi surga adalah suatu kemestian yang tak terbantahkan sebab hal itu telah tersurat dalam al-Qur`an. Maka, surga menurut hukum syara` adalah mesti adanya dan wajib diyakini keberadaannya oleh muslim yang telah masuk kategori subjek hukum.
Adapun hukum adat terelasi erat dengan persoalan sebab-akibat. Hal ini menjadikan suatu kebiasaan yang lazim dan terobservasi sebagai subjek penetapnya. Hukum adat ini bersifat empirik, observable, dapat direkonstruksi dan menyimpan kemungkinan gagal atau berhasil, tergantung kelengkapan prasyarat yang dibutuhkan untuk mewujudkannya.
Contoh dalam hal ini misalnya peristiwa basahnya kain akibat tersiram oleh air. Menurut hukum adat, basahnya suatu kain adalah wajib atau suatu kemestian saat ia dikenai oleh air. Konklusi `mesti` bagi kondisi basah ini tentu muncul dari observasi berulang atas peristiwa serupa. Hal ini tentu saja empirik dan dapat direkonstruksi.
Namun demikian, kemestian akan kondisi basah ini–berdasarkan observasi tersebut–juga memerlukan prasyarat agar dapat terjadi. Ketidaklengkapan prasyarat akan hal tersebut dapat menghalangi hadirnya kemestian kondisi basah ini. Dalam hal ini, misalnya, adanya lapisan tertentu yang melekat pada kain yang disiram air sehingga kain tersebut urung basah (waterproof). Contoh serupa juga dapat terjadi pada kemestian hangus pada peristiwa terbakarnya suatu benda oleh api.
Hukum adat inilah yang kemudian melahirkan beragam disiplin ilmu yang saat ini berkembang, misalnya fisika, kimia, biologi, kedokteran, teknik, dan sebagainya.
Sedangkan hukum akal bertalian erat dengan persoalan logika yang tidak selalu mesti menunggu hasil observasi dan pembuktian maupun ketetapan syara`. Hukum akal ini terelasi erat dengan hal-hal yang mungkin, mesti maupun mustahil eksis dalam semesta. Dalam persoalan teologis, contoh hal ini misalnya ada atau tidak adanya Tuhan; takdir Tuhan; dan semisalnya. Jika dikaitkan dengan contoh sebelumnya, menurut hukum akal, eksistensi surga itu masuk dalam kategori yang mungkin adanya, demikian juga kondisi basahnya sehelai kain saat disiram air.
Dalam praktiknya, ketiga hukum ini bukanlah suatu hal yang parsial dan berlaku sendiri-sendiri. Seseorang tidak dapat berlandaskan hanya pada salah satu di antara ketiganya dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Kemampuan mendialektikakan ketiganyalah yang akan menuntun manusia pada kehidupan yang harmonis atau tidak harmonis di dunia ini.
Contoh, dalam kasus menghadapi wabah korona ini, misalnya. Menurut hukum akal, keselamatan seseorang dari terpapar covid dalam pergaulan kesehariannya di tengah pandemi adalah hal yang mungkin, meskipun ia tanpa masker dan jaga jarak, sebab bisa saja takdir Tuhan menetapkan dia selamat meski tidak menjaga jarak atau bermasker.
Namun, menurut hukum adat, keselamatan seseorang yang tanpa masker dan jaga jarak dalam pergaulan kesehariannya di tengah pandemi seperti saat ini adalah mustahil, karena virus covid secara adat dapat menular melalui droplet. Sedangkan droplet bisa muncrat kapan saja dan menjangkau jarak yang dekat, menginfeksi jalan napas yang terbuka. Karenanya, perlu upaya yang mengacaukan prasyarat terinveksi itu, dalam hal ini semisal mengambil jarak yang cukup jauh atau menutup hidung dan mulut dengan sesuatu.
Adapun menurut hukum syara`, ikhtiar menyelamatkan diri dari suatu penyakit atau kemadharatan (semacam pandemi Covid) adalah suatu kewajiban yang dititahkan, berbanding lurus dengan wajibnya ritual formal semacam shalat dan kebaktian atau menafkahi keluarga.
Jika berpegang pada hanya salah satu dari ketiga hukum tersebut, tentu akan sangat sulit untuk dapat bersikap harmonis. Karenanya, menjadi penting untuk mendialektikakan ketiganya. Perlu dicari cara agar kewajiban ritual formal atau menafkahi keluarga, misalnya, dapat dilangsungkan, namun mencegah kemadharatan akibat terpapar virus juga dapat dilakukan.
Maka, di sinilah perlunya melihat kembali ketiga hukum tersebut, mendudukkannya secara sejajar, lalu mendialektikakannya dalam suatu cara yang menjadi jalan tengahnya. Maka, tetap beritual formal atau beraktivitas dengan menjaga jarak dan bermasker–menurut saya–menjadi salah satu jalan keluar yang harmonis, manifestasi dari pelaksanaan hukum syara` dan adat yang telah didialektikakan. Dan dengan memahami bahwa tertular dan tidak adalah suatu kemungkinan berdasarkan hukum akal, maka ketenangan dalam beraktivitas dengan menjaga jarak dan bermasker pun dapat dirasakan.
Demikian.