Islam adalah agama pengetahuan. Tapi, sejarawan sering menulisnya sebagai agama penaklukan. Bahkan, kalangan orientalis menyebutnya sebagai “Agama Pedang”. Hal ini sangat kontradiktif. Kalangan umat Islam sendiri sepertinya lebih suka melihat Islam sebagai agama politik sebagaimana tema-tema khilafah dan daulah lebih diminati daripada Islam sebagai agama ilmu dan pengetahuan. Padahal, kalaupun seandainya tidak berbicara kedaulatan, khilafah, kekuasaan, dan politik, Islam tetap hadir dan ada. Pada abad ke-15, Islam bisa tumbuh subur ketika Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kediri berada di puncak kejayaan. Di era sekarang, Islam juga tumbuh subur di Benua-benua Amerika, dan Eropa. Di Inggris, Amerika Serikat, Jerman, China, dan Rusia, Islam tersemai tanpa harus mendirikan Daulah Islamiyah.
Dan, karena dipandang dari sudut politik dan kekuasaan ini, Islam dianggap mundur sejak kejatuhan Kota Baghdad pada 1258 Masehi, serta keruntuhan Kekaisaran Usmaniyah setelah Perang Dunia Pertama (1914+1918 Masehi). Romantisme politik ini yang selalu dianggap sebagai tolok ukur kemajuan dan kejatuhan peradaban Islam.
Kontribusi Islam terhadap ilmu pengetahuan, diakui atau tidak, memang besar. Umat Islamlah yang menyelamatkan ilmu dan pengetahuan dunia. Hanya saja, tidak ditulis dengan rapi oleh umat Islam sendiri. Baik setelah keruntuhan Baghdad maupun kejatuhan Kekaisaran Usmaniyah, umat Islam tidak lelah dan berhenti menulis. Mereka menulis buku-buku filsafat, sejarah, astronomi, matematika, tafsir Al Quran, dan terakhir Oksidentalisme sebagai kritik terhadap Orientalisme. Dari aspek budaya, Islam menjadi tradisi dan ritus-ritus sosial di berbagai tempat dan negeri. Namun, sekali lagi, tidak tercatat dengan baik. Semisal Suluk Wujil karya Sunan Bonang tidak pernah menjadi bahan kajian serius dalam studi-studi keislaman mainstream. Salah satu dari ribuan karya-karya intelektual yang tersebar di dunia.
Sementara di sisi lain, pembodohan-pembodohan terus dipropagandakan untuk menyudutkan umat Islam. Seperti propaganda-propaganda anti-TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat).
Buya Husein Muhammad, salah satu ulama langka di Indonesia, memiliki perhatian khusus pada khazanah-khazanah intelektual muslim di dunia. Ia konsisten menulis beberapa ulama yang menghabiskan hari-harinya untuk membaca, menulis, dan menebarkan cahaya pengetahuan. Ia menulis kisah Qadhi Al Qudhah Imam Abu Yusuf masih aktif membaca, meneliti, mengajar, dan berdiskusi hingga menjelang kematiannya.
Imam Al Jahidh, seorang sastrawan filosof, yang menghabiskan waktu untuk menyewa tempat di toko buku, membaca apa saja, lalu menuliskannya kembali.
Imam Ibnu Suhnun Qadhi Al Qudhah, penulis kitab Mudawwanah, yang sampai lupa sudah disuapi makan ke mulutnya.
Imam Ibnu Jarir Al Thabari yang menulis tafsir dan sejarah dunia, masing-masing 3000 lembar dalam kurun waktu tujuh tahun.
Karimah Al Marwaziyah, perempuan yang sibuk mengajar dan melakukan diskusi hingga tak menikah.
Imam Haramain, seorang yang tekun hingga makan karena terpaksa lapar.
Imam Abu Al Wafa Ibnu Aqil yang menulis ensiklopedi pengetahuan “Al Funun” sebanyak 400 sampai 700 jilid.
Imam Abu Hamid Al Ghazali, sosok pribadi yang selalu gelisah dan tak pernah berhenti mencari kebenaran dari manapun hingga ke ujung pengetahuan.
Imam Ibnu Rusyd Al Hafidh yang selama hidupnya hanya meliburkan diri dari membaca, meneliti, dan menulis ketika saat menikah dan kewafatan ayahnya.
Imam Fakhruddin Al Razi yang menyesali kehilangan waktu hanya karena makan.
Imam Muhyiddin Al Nawawi yang makan roti kering sekali dalam sehari semalam, kemudian membaca dan menulis di sembarang tempat.
Ibnu Taimiyah Al Jadd yang minta dibacakan buku ketika berada di toilet. Ia juga menulis di penjara dan berdebat dengan dokternya ketika menjelang kematiannya.
Imam Jalaluddin Al Suyuthi yang pada usia 40 tahun mengasingkan diri, lalu menyepi di dalam kamar sendirian untuk menulis.
Habib Umar bin Yahya yang merasa membaca lebih penting daripada berduaan di kamar pengantin.
Syekh Jamaluddin Al Qashimi yang menulis di sembarang tempat seperti di atas kereta api, di taman, atau di kendaraan umum.
Demikian, Buya Husein Muhammad mengungkapkan keunikan-keunikan paraulama yang tetap konsisten dan setia pada ilmu pengetahuan pada zamannya. Masih banyak lagi ilmuwan-intelektual yang belum tercatat untuk menghidupkan cahaya Islam di seantero dunia. Seandainya semua ulama di dunia mampu didata dan ditulis dengan khazanah bahasa mereka masing-masing, maka akan tampak cahaya Islam itu bersinar terang.