Munculnya istilah karakter dari tulisan. Dari tulisan, dapat diketahui bakat, watak, dan karakter seseorang. Berangkat kemudian pada pilihan-pilihan lain dengan media yang lain pula. Meskipun pada dasarnya sejak manusia mengenal arti sebuah tanda.
Perjuangan manusia untuk menemukan karakter melalui proses dan tahapan-tahapan yang tidak sebentar. Sejak mereka berada di goa-goa, meninggalkan goresan-goresan gambar sederhana tentang binatang-binatang di sekitar mereka. Mereka menggunakan bulus atau kura kura sebagai binatang yang paling dekat karena tinggal di tepi tepi sungai dan menjadi bahan santapan mereka.
Dari goresan goresan itu, mereka menuangkan perasaan perasaan dan kegelisahan kegelisahan. Coba meluapkan melalui goresan goresan mereka.
Dengan sederhana, mereka irit berbicara.
Hingga ke masa kini, manusia semakin cerewet dan melempar semua uneg uneg dan perasaan. Hampir semua diluahkan. Dengan umbaran umbaran yang tiada batas.
Tapi, memang sudah memiliki watak yang sama. Era tahun 1990an, tren bercelana ala “cut bray” sempat menjadi trendi. Begitu pula, celana pensil bagi laki laki. Padahal, tren demikian sudah pernah ada pada masa 1960an. Masa lalu selalu menjadi patokan.
Tanpa disadari, pandemi telah menyadarkan manusia untuk meratifikasi diri kembali kepada budaya semula. Manusia tidak bisa terus berperang pada level atas. Mereka mesti kembali kepada tempat berpijak. Kembali kepada asal. Pada masa krisis, manusia hanya bisa berpegang pada perut masing-masing. Tidak pada finansial yang melimpah. Meskipun, pada taraf ini watak keserakahan benar benar tampak, tanpa ada lagi tedeng aling aling. Manusia hanya butuh makan sebagai kebutuhan dasar, bukan mimpi mimpi pertumbuhan ekonomi dan finansial. Bukan fasilitas fasilitas yang memudahkan. Meskipun, sering pengamanan finansial menjadi pokok bahasan dan keyakinan baru. Ada sebuah film Korea menceritakan tentang seorang Dewa Penolong yang suka membagi bagikan uang laksana Robin Hood kepada orang orang yang sedang dilanda kelaparan di tengah tengah cuaca dingin yang siap merenggut nyawa. Tapi, satu jawaban pasti, “Kami tidak butuh uangmu, kami butuh makan. Uang tidak bisa dimakan,” ungkap sesosok kedinginan yang hampir mati.
Ada banyak orang berbicara kemajuan dengan melupakan asal dan dasar. Di rumah rumah mereka menumpuk barang barang dan fasilitas fasilitas mewah. Kemajuan teknologi. Makanan, transportasi, jemputan, antaran semua bisa dipencet. Tidak ada lumbung sama sekali.
Pada masa lalu, manusia menyimpan bahan bahan makanan mereka ke dalam goa-goa dan lumbung lumbung untuk berjaga jaga pada masa paceklik yang panjang. Sekarang, paceklik sedikit tinggal teriak teriak menyalahkan pemerintah.
Entah, masihkan percaya pada pangkal dan asal untuk menemukan kembali karakter yang hilang? Mengapa kebutuhan dasar itu mulai hilang dalam agenda-agenda kehidupan sementara?