Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah kalangan muda milenial masih ingin terlibat pada problem-problem orang tua mereka? Ataukah justru orang-orang tua yang kewalahan menghadapi problem-problem anak muda yang kecanduan “game online”?
Di sini, titik persoalan sebenarnya pada masyarakat jika tolok ukurnya adalah media sosial.
Dulu, Ada Dekadensi
Dalam analisis jumlah pemilih pada pemilu yang akan datang akan didominasi oleh kalangan milenial. Sehingga para kompetitor mulai berpikir untuk menggunakan media sosial sebagai alat dan sarana paling efektif untuk memenangkan kontestasi pemilu mendatang. Mereka mulai membagi pengguna-pengguna media sosial berdasarkan klasifikasi FB, IG, Tweets, Instagram, atau website. Dan, terbanyak adalah pengguna Tik Tok.
Dari sarana dan alat komunikasi canggih ini, sebetulnya antara generasi tua dan millenial memiliki problematika sendiri-sendiri. Kecuali, pada Tik Tok. Orang-orang tua dan generasi millenial sama-sama penyuka Tik Tok.
Prihatin?
Jika di Inggris saja, Tik Tok tidak laku, maka di Indonesia sebaliknya. Mayoritas!
Tentu, hal ini bukan penyesalan. Karena, desain budaya Indonesia memang demikian. Dulu, ada istilah dekadensi (kemunduran) moral yang terus menjadi problem-problem orang tua sekarang (karena masa mudanya dulu). Generasi muda sekarang dengan alat komunikasi digital bisa jauh lebih positif dalam memandang diri mereka sendiri.
Problem Game Online
Game online bisa dipandang negatif bagi kalangan generasi tua, karena melihat anak-anak mereka menghabiskan waktu bersama handphone mereka. Dan, karena bentuknya virtual, maka ada kecenderungan emosional tak terkendali. Mereka (generasi millenial) bisa jauh lebih emosional, gampang marah dan reaktif. Seorang anak akan mudah membentak ibunya karena diingatkan waktu sholat atau belajar mereka. Pun, seorang anak akan membanting handphonenya hanya karena kalah bermain game online.
Solusi terbaik adalah dengan menggeser pikiran sang anak kepada hal-hal positif. Mereka tidak bisa dicegah dengan cara spontan, tapi bisa dibatasi. Caranya?
Perlu ada kompetisi secara ril dan nyata. Bukan dalam koridor lawan main yang maya.
Komunitas millenial harus dibangun kesadaran psikologi sosial mereka. Jika pada zaman dahulu kompetisi dibangun dengan permainan-permainan seperti gobaksodor, egrang, catur, bulutangkis, dan sebagainya, maka kompetisi game online zaman sekarang sudah menjadi pilihan tak dapat dihindari.