Eros Djarot (Soegeng Rahardjo Djarot) memiliki talenta yang kuat di bidang seni, mulai dari sutradara film, penulis lagu, penulis skenario, dan politikus.
Berkiprah di politik cukup lama, sejak Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada masa Orde Baru, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), hingga mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) di Orde Reformasi.
Karya yang Mendarah Daging
Adik kandung Slamet Rahardjo Djarot (aktor, sutradara, dan penulis skenario) ini hampir tidak dikenal raut muka kesantriannya. Tapi, hal itu biasa terjadi di pesantren. Karena, dunia pesantren memang unik dan tidak seragam. Hanya kaum sekuler saja yang sering memandangnya dari segi nafsu rendah.

Eros, sebut saja namanya begitu, pernah menempuh pendidikan di Eropa. Mengambil jurusan teknik kimia di Universitas Koln. Di Jerman, ia pernah mengukir kenangan bersama Presiden ke-4, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940+2009) sama sama sebagai kuli. Sahabatnya kemudian hingga tiba di tanah air. Bersama Gus Dur dan Cak Nun yang berperan di balik layar, Eros pernah mendirikan tabloid “Detik” yang kemudian dibredel pada masa Presiden Soeharto berkuasa.
Usia Eros dan Gus Dur ternyata terpaut jarak 10 tahun. Tapi, hubungan mereka sangat baik.
Sepintas, Eros maupun kakaknya, Slamet Rahardjo, terkesan seperti priyayi menurut kategori sosial masyarakat Jawa yang dibuat oleh Clifford Geertz. Tidak tampak seperti santri kebanyakan yang suka mengenakan sarung. Tapi, hal ini justru menunjukkan kalau Indonesia sebenarnya adalah negeri santri. Karya-karya Eros Djarot memang diakui seperti mendarah daging. Apalagi setelah lagu lagunya dilantunkan oleh Chrisye, penyanyi legendaris Indonesia. Sebut saja seperti “Angin Malam”, “Badai Pasti Berlalu”, “Semusim”, “Serasa”, dan “Merpati Putih”.
Eros mengawali karir seninya sejak tahun 1965. Beberapa filmografi yang melibatkan dirinya sebagai penulis skenario, komposer, dan sutradara adalah Kawin Lari (1974); Perkawinan dalam Semusim (1976); Badai Pasti Berlalu (1977); Usia 18 (1980); Seputih Hatinya Semerah Bibirnya (1983); 1983 Di Balik Kelambu (1983); Ponirah Terpidana dan Kerikil-Kerikil Tajam (1984); Secangkir Kopi Pahit dan Kembang Kertas (1985); Kodrat (1986); Tjoet Nja’ Dhien (1988); Marsinah (2001); Kantata Takwa (2008); dan, Lastri (2009).
Menikmati lagu-lagu karya Eros Djarot memang seperti darah dan daging yang menyatu dengan tulang dan sumsum. Tidak hanya menusuk hati, tetapi juga merasuk ke dalam jiwa.
Jujur
Seniman harus jujur. Ungkapan yang sering terdengar. Tapi, tidak sedikit orang yang nyeniman berlindung di balik kata seni.
Seni adalah kebebasan. Eros terlahir dengan bakat yang alami, mengalir. Dia tidak mempersiapkan dirinya sebagai seorang seniman dengan berbagai macam aksesoris. Karakternya memang sering di balik layar, meskipun tak jarang juga berada di panggung istimewa.
Karena kejujuran itu justeru awal karirnya berkesenian mulai tumbuh. Ketika berjumpa tak sengaja dengan sutradara senior, Teguh Karya. Ia nyeletuk dan mendapat tantangan mengaransemen sebuah film. Padahal, ia sama sekali tidak memiliki latar belakang pemusik apalagi pencipta lagu. Namun, jiwa mudanya berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik dan mulai mengerti arti sebuah tanggung jawab.
“Searching for identity” dalam keindonesiaan baginya seperti apa adanya sebagai manusia yang memahami dan merasakan banyak hal sebagai sebuah identitas, baik dalam beragama, berkepercayaan, berkepribadian, berbangsa, berpikir, dan mandiri dari alam tempat berpijak.