Sejarah pada zaman sahabat Rasulullah saw dan setelahnya mungkin tergambar dalam kata قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. Berpusat pada satu narasumber. Meskipun, pada masa berikutnya, bermunculan hadis-hadis palsu yang menyebabkan ulama-ulama Al Tabi’in berusaha untuk melakukan verifikasi hadis sehingga muncul teori-teori pembukuan hadis (Mushtalah Al Hadist), baik dari segi materi (matan), periwayatan, pemaknaan, maupun dari kualifikasi sosok periwayatnya. Hal ini yang menimbulkan pertanyaan dari kalangan Orientalis tentang metodologi pembukuan hadis ini; apakah benar suku-bangsa Arab pada masa itu memiliki kesadaran dalam menulis sejarah? Meskipun, umat Islam juga berargumentasi kalau orang-orang suku-bangsa Arab memiliki ingatan yang kuat melebihi suku-suku-bangsa lain di dunia.
Hal yang berbeda tentunya dari asumsi yang dibangun oleh kalangan Orientalis atau Barat secara umum: tidak ada sejarah tanpa ada historiografi. Historiografi di sini maksudnya adalah keterangan-keterangan atau bukti-bukti nyata dari sejarah yang dapat dihadirkan. Misal, kenapa perang 10 November 1945 tidak diakui sebagai sejarah gerakan sosial kaum santri? Karena, sangat minim sekali, baik berita resmi negara atau media massa yang meliput peristiwa sejarah tersebut. Sebab, perhatian pemerintah dalam menghadapi agresi Belanda pada waktu itu masih berpusat di Yogyakarta sebagai ibukota negara.
Cerita-cerita atau riwayat-riwayat yang berpangkal pada “opo jare mbahku” memang tidak bisa dipandang sebagai bahan bukti atau saksi bagi khazanah sejarah Indonesia. Karena, akan dikhawatirkan adanya penyimpangan-penyimpangan atau bias periwayatan. Sebuah bukti atau saksi otentik sejarah akan diterima jika memenuhi beberapa syarat dan prasyaratnya. Indonesia tidak cukup memadai untuk itu.
Dari sudut pandang ini, sejarah Indonesia sangat lemah sekali atau terlalu muda untuk dikatakan sebagai sejarah, karena tidak didukung oleh teori-teori yang kuat. Kalaupun ada, teori-teori tersebut masih meminjam metodologi dari Arab atau Barat (Amerika dan Eropa). Bagi kalangan pesantren, metodologi Arab lebih sering digunakan, begitu pula metodologi Barat lebih sering digunakan bagi kalangan sekolahan. Sejarah Barat yang bertumpu pada historiografi dan administrasi istana, sementara sejarah pesantren pada budaya rural yang tak terdokumentasikan. Sehingga kerancuan sejarah budaya yang abstrak dan sejarah birokrasi istana yang konkrit masih berlomba mencari pengaruhnya masing-masing guna menemukan teori-teori dan metodologi “oplosan” yang lebih kokoh.
Apa yang menjadi kritik Anda terhadap sejarah Anda masih sangat lemah, kecuali kalau sejarah itu berujar, “Opo jaremu.”