Nama aslinya adalah Masyhuri. Ayahnya wafat ketika ia masih kecil. Karena, sering sakit-sakitan, akhirnya namanya diganti menjadi “Nasirun” yang berarti “tertolong”.
Di tengah hujatan terhadap pendidikan pesantren yang minor beberapa minggu silam, ketika media massa mainstream mem-“blow up” habis habisan menjadi bahan gorengan, seorang maestro lukis Indonesia, Nasirun, masih bangga dengan latar belakang pendidikan yang membesarkannya. Dan, ia dikenal sebagai “Seniman Gorengan” pada 1997 yang melekat hingga sekarang.
Tidak sedikit, baik dari kalangan muslim dan non-muslim, menambah-nambahi ‘kicauan” seakan-akan persoalan itu memang dari hasil produk pondok pesantren.
Meskipun sudah lama berkiprah di dunia lukis (mulai pameran tunggal pada 1993), namanya kian berkibar di tanah air setelah beberapa unggahan profil dan filosofinya muncul di media-media sosial. Ia mendapat kejayaannya setelah melanglang buana ke Amerika.
Seakan sedang menjawab, Nasirun mengaku bahwa ayahnya (Ahmad) warga NU dan pengamal thariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah. Memang cocok dengan profesinya. Naqsyabandiyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syekh Bahauddin Al Naqsyaband, seorang pemahat. Ayahnya wafat di Lampung, seorang badal atau khalifah (asisten) thariqah KH Bustanul Karim, Cilacap, yang terkenal jadzabnya.
Nasirun lahir di Karangwangkah, Kabupaten Cilacap, pada 1 Oktober 1965 penuh dengan keprihatinan. Ia sering berbohong kepada ibunya, kalau kekurangan makan. Tujuannya agar tidak merepotkan ibunya. Tapi, memang dasarnya, ia mencintai ibunya, ketika wisuda di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta, Nasirun tidak pernah bilang kalau dia kuliah. Dia berpamitan untuk bekerja.
Di Yogya, selama enam bulan awal, ia bekerja mencangkul sawah, menanam terong ungu. Dari hasil mencangkul itu, ia bisa bertahan untuk makan.
Nasirun kemudian menjadi pelukis batik setelah mendapat pinjaman modal. Pekerjaan itu terus ia lakukan hingga sekarang. Di samping itu, Nasirun juga ngelakoni menjadi pelukis merdeka. Tukang lukis reklame film-film bioskop sebelum masa “print out” sekarang.
Dari pelukis batik (craft) itulah yang menjadi dasarnya melukis.
Nasirun adalah seorang pelukis genetik. Ibunya seorang Sunda Wiwitan yang suka mendongeng. Dari dongeng itu pula, Nasirun mendapat inspirasi awal dari setiap lukisannya. Di samping, wayangan yang menjadi tontonan hiburan pada masa kecilnya ketika masih di pesantren.