Judul : Tarian Badai (The Dancing Storms)
Penulis : Ayu Yulia/Anastasia Fanny Lioe
Editor : Anastasia Fanny Lioe
Halaman : xxxiv + 118
Penerbit : LovRinz Publishing, 2022
Puisi adalah bahasa universal, meskipun diucapkan dalam kata yang tunggal. Semua bisa dinikmati atau dirasakan oleh kebanyakan, seperti tangisan dalam kematian. Orang menangis dan merintih karena kematian mungkin hanya bisa dirasakan secara personal, tapi semua orang bisa saja larut di dalam keharuannya. Begitu pula, tiupan sebuah seruling hanya bisa dirasakan oleh orang orang yang mendengarnya.
Tetapi, tidak semua orang pula memiliki empati yang sama. Pada situasi yang dianggap kacau. Justeru, tangisan dan rintihan telah menjadi tontonan yang tak setara dengan kemanusiaan itu sendiri.
Refleksi Ayu Yulia dan Anastasia Fanny Lioe dalam Tarian Badai (TB) seolah mewakili jiwa jiwa yang tengah sama sama berjuang keluar dari kesedihan. Ketika cinta benar benar dipertaruhkan dalam dendam dan kesempatan. Dalam situasi saat ini, berita berita tentang kesedihan karena ditinggal mati oleh kerabat akibat terserang “kutu-covid” belum benar benar memberi harapan. Ada ribuan jiwa yang tiba tiba mendadak menghadap Tuhan. Dan, ribuan anak yang kemudian mendadak pula menjadi yatim piatu. Suara jerit tangis menyayat mereka telah membungkam dan terkatup seribu bahasa, meskipun derai airmata tetap mengalir.
Tema tema cinta yang disajikan Ayu Yulia adalah kata pembuka yang ritmis. Sebuah titik terang yang pernah hadir pada kali pertama, mungkin perjumpaan seperti pagi. Kita menunggu pematangan tanaman//Kecintaan kita pada pekerjaan kian mendalam//Kita tahu cara melewati bencana//Kita memotong jagung dengan sabit milik kita//Kita pun tahu kapan datangnya waktu panen//Sehingga kita pun mendengarkan lonceng angin timur (TB: xxvi).
Denting “lonceng angin timur” laksana pertama matari bersinar memberi tanda kepada semua penghuni alam. Bahwa pagi telah memberi ruang yang cukup untuk berkata dan berbicara, “Saatnya memulai!” Dengan pagi, kabaran tak lagi melenceng: Cinta tiada henti menebar rayuan// mengobati hati nan patah// jiwanya pun tak pernah tersesat (TB: xxix).
Dapat dilihat, betapa semangatnya Ayu menyambut pagi. Seolah semua yang ada di dalam tampah hendak ditumpahkan agar cepat cepat berkecambah. Benih sudah berkecambah//Ingin kutanam di ladang berkah//Pupuk semangat disiapkan//Tak sabar ingin ditaburkan (TB: 6).
Pagi adalah kenyataan yang tak perlu dilamunkan. Pagi adalah harapan sekaligus lecutan untuk memulai itu. Tiba-tiba lamunan terhenti//Dikejutkan gigitan semut api//Beri tanda//Melamun tiada guna (TB: 16).
Dan, ketika badai menari. Pada lembar kisah//Tinta tertumpah//Bagai badai//Menari//Di lipatan kertas//Bercak ternoktah//Gerak patah//Terlukis//Oh, tarian badai//Penutup kisah//Panggung indah//Ternoda (TB: 114).
Kumpulan puisi puisi ini menyajikan “tarian badai” yang seutuhnya belum berhenti dari riak tangis dan duka. Belum ada penyelesaian; apakah sebuah tanya akan berlalu? Seperti yang kini disaksikan bersama telah datang badai baru lagi yang tak kalah dahsyatnya. Di saat umat sedang mengumandangkan pengorbanan dan menjelang usia bangsa yang ke-77 tahun. Dalam larut prolog yang panjang tak ditemukan perjumpaan.