Kemajuan industri dan informasi pada dua dekade terakhir ini berjalan begitu cepat sehingga telah memberi peluang pertumbuhan dan persaingan baru di dunia, baik perdagangan maupun perang. Sudah beberapa pasar besar (mall) yang tutup karena sepi pengunjung. Pun, hotel-hotel dan tempat inap yang beralih fungsi. Terakhir, karena faktor Pandemi Covid-19, aktivitas-aktivitas pasar menurun drastis.
Pukulan ini telah membawa kepada realitas budaya. Bagi penganut teori perubahan, perubahan tak dapat dielakkan. Namun, bagi penganut antiperubahan, perubahan tidak akan pernah datang sampai kapanpun. Sebagai subjek, manusia tidak akan berubah, situasilah yang telah membawa perubahan, sementara dirinya turut berkembang.
Dari aspek budaya ini, Indonesia tidak mengalami perubahan berarti. Hingga muncul gagasan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke Penajampaser di Kalimantan Timur. Keputusan ini telah membawa asumsi pro dan kontra, kendati pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Foto: https://infopublik.id
Roger M. Keesing (Oktober, 1974) dalam “Teori-Teori Tentang Budaya” berpendapat dari hasil temuan penelitian antropologinya, “Saya kira kita perlu bekerja dari berbagai arah. Menginterpretasikan adu ayam di Bali dan gosip di Zinacantan memberi penjelasan tentang kondisi manusia dari satu perspektif yang penting meskipun (atau, karena) apa yang memungkinkan kejadian itu terjadi, bagi ahli antropologi dan masyarakat setempat, tidak dapat dicatat dengan rapi.”
Pandangan manusia tentang budaya masih sering berpegang dari satu arah ideasional, manusia menangkap gagasan dari alam pikirannya sendiri (worldview). Pandangan dari sudut internal subjek. Padahal, dalam banyak hal, kebudayaan yang datang telah membawa sisi perubahan secara tanpa disadari.
Oleh karena itu, “Pengkajian tentang upacara dan adaptasi ekologi di New Guinea memberi penjelasan tentang sisi lain dari kondisi manusia.” Di antara dua kasus (adu ayam di Bali dan adaptasi ekologi di New Guinea) memerlukan satu pandangan yang lebih luas sehingga tampak objektif. “Kita mungkin akan kehilangan keterkaitan antara kedua sisi kehidupan manusia di atas jika kita tidak punya pandangan yang luas tentang sistem kompleksitas alam.” Dengan demikian, “Pada waktu yang sama, usaha-usaha untuk menetapkan budaya sebagai sistem ideasional dalam kaitannya dengan pemahaman tentang pikiran dan otak, seharusnya memungkinkan penelitian yang lebih jelas terhadap organisasi pengalaman dan sifat kedalaman dari variasi dunia pemikiran manusia.”
Dalam kesimpulan akhir ini, Roger M. Keesing berpendapat;
Menerima budaya sebagai satu subsistem ideasional di dalam satu sistem yang luar biasa kompleksnya (biologis, sosial, dan simbolik), dan menurunkan model abstrak kita pada kekhususan-kekhususan yang konkrit dari kehidupan sosial manusia, seharusnya memberi kemungkinan bagi dialektika untuk menghasilkan pengertian yang lebih dalam. Apakah konsep tentang budaya akan direvisi secara cepat, diinterpretasikan secara radikal, atau hilang dengan cepat, dalam jangka panjang tidak begitu menjadi persoalan, selama konsep ini telah mendorong kita untuk menyelidiki pertanyaan-pertanyaan strategis dan untuk melihat hubungan-hubungan yang akan hilang.
Dengan kata lain, terdapat berbagai faktor eksternal yang telah memberikan sumbangan bagi perkembangan budaya, terutama melalui sentuhan-sentuhan langsung secara dialektis. Tidak semua pandangan budaya yang sudah ditetapkan dan “fixed” dalam satu kurun dapat berkembang sesuai kebutuhan zaman. Kompleksitas tersebut akan sangat tampak manakala perpindahan ibukota yang menjadi isu sentral saat ini memerlukan gerakan atau keinginan menggeser satu pandangan. Dari pandangan lama (Jakarta) kepada yang baru (Penajampaser).