“Sudahlah, Bro, lupakan saja!” ujarku sembari membuang muka.
“Tidak bisa, Khi, dia cinta pertamaku,”jawabnya, lirih.
Fudin adalah teman sebangkuku di pesantren. Pandai. Hafalan Al-Qurannya sudah 23 Juz. Sesekali waktu, dia pernah berkelakar, ”Juz 23 sulit tembusnya (hafalnya), soalnya berbaris-baris (Ash-Shoffat). Walau mengeluh seperti itu, ranking kelasnya masih tak pernah turun dari peringkat ke-3. Ajaib benar anak ini, pikirku.
Masih sulit rasanya menerima kepergiannya hingga detik ini. Karena, menyisakan banyak tanya. Ribuan mengapa dan alasan yang pas tidak juga mampu kuterima. Bagaimana mungkin, sosok yang matang secara akademis dan rajin sebagai santri harus tunduk pada kenyataan: otaknya tak lagi mampu menerima takdir yang menimpa. Dia divonis terkena virus kronis yang menyerang otak.
Pribadinya sebenarnya tidak lemah. Dia sehat. Bahkan, punya bakat sepakbola yang menonjol. Setiap Selasa dan Jumat, sobatku ini hampir tidak pernah absen bermain bola. “Hiburan, biar gak jenuh mengaji, Khi,” selorohnya kepadaku. Dan, cara bermainnya memang unik, ala legenda AC Milan dulu, Paolo Maldini. Mirip. Bahkan, mungkin persis banget mainnya.
Ketika masih di tingkat satu tsanawiyah, aku tak merasakan perubahan sikap darinya. Namun sejak kelas 2, dia mulai berubah.
Sering melamun. Sifat humorisnya yang parah perlahan mulai hilang. Dan, yang paling menyedihkan adalah dia sudah jarang bertemu denganku.
Pada kesempatan lain, aku mencoba iseng bertanya tentang perubahan sikapnya itu. “Lagi akeh masalah ta, Sam?” tanyaku. Sam adalah bahasa walikan khas Malang yang berarti “Mas”, tempatnya berasal.
“Gak popo,” ketusnya, singkat. Pendek sekali jawabnya
Sebagai teman dekat, aku harus pandai memahami: itu adalah bentuk lain dari sebuah jawaban “Aku lagi gak ingin diganggu”. Karena, pernah suatu waktu aku memaksa, hanya berujung saling tak bertegur sapa, hingga beberapa hari lamanya. Jadi, jika Anda mengaku sebagai sahabat dekat seseorang, kepekaan ini akan menjadi sebuah reflek yang tercipta dari rutinitas perilaku yang kita pelajari dari seorang sahabat kita.
“Yo wes, bekne pengen main PS ayo!” hiburku, mengalihkan perhatian.
“Yo mene, malam Jumat ae,” jawabnya, tanggap.
Aku menarik nafas lega, Fudin menimbali ajakanku. “Oke!” Jempolku menyudahi percakapan kami saat itu.
Walaupun di pesantren, kami (beberapa santri) dalam beberapa waktu dan kesempatan, senantiasa menyempatkan diri untuk berjalan-jalan ke kota yang berjarak kira-kira 7 kilometer. Sekadar melepas penat menghafal dan kejenuhan rutinitas yang mengendap lama. Wujudnya, ya bisa seperti itu tadi, bermain PS misalnya. Tentu, ini dilakukan sambil main kucing-tikus atau petak umpet dengan tim keamanan pesantren. Seru. Sesekali kejar-kejaran, sesekali ngumpet gak tentu arah. Mungkin, ini bias disebut bekal awal mentalitas santri, berani mengambil risiko.