Begini ceritanya. Pada tahun 1990 saat saya di semester 6, Jurusan Tafsir Hadis, Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga, diadakan bahtsul masa’il PWNU DIY untuk membahas apakah bunga bank haram atau tidak. PWNU membahas tema ini karena PBNU mengadakan kerjasama dengan salah bank konvensional. Semua kyai pesantren di Yogyakarta diundang, termasuk almarhum al maghfur lahu K.H. Dalhar Munawwir.
Sekitar satu minggu sebelum bahtsul masa’il Mbah Dalhar memanggi Mas Mahmudi (adiknya Gus Masrur PP Al-Qodir) dan saya. Beliau ngendiko, “Sahiron dan Mahmudi, minggu depan Bapak diundang bahstul masa’il tentang bunga bank. Sahiron, kamu saya tugasi untuk mengumpulkan kitab-kitab, baik yang ditulis oleh ulama salaf maupun ulama modern. Dan Mahmudi harus mengantar dan menemani Sahiron” (saat itu saya belum bisa naik sepeda motor). kami berdua menjawab, “Injih, Pak Kyai.”
Pada hari itu juga kami berdua pergi ke Perpus IAIN Sunan Kalijaga dan membuka kitab-kitab tafsir klasik, seperti karya al-Tabari, al-Razi, Ibn Katsir, al-Qurthubi dan al-Jashshash, dan satu tafsir modern, yakni al-Manar karya Muhammad ‘Abduh. Kami memfoto kopi bagian-bagian tertentu yang membahas tentang ayat-ayat riba. Kemudian kami kembali ke pondok. Sore hari kami dipanggil oleh beliau. “Apakah kalian sudah mendapatkan nushush-nya (teks)?” Tanya beliau. “Inggih, sampun, Pak Kyai,” jawab kami. “Coba baca satu2, Sahiron, dan artikan apa maksudnya!” beliau memerintah. Saya baca dan menerjemahkan tafsir-tafsir itu di hadapan beliau. Singkat kata, para ulama klasik dan modern sepakat bahwa riba itu haram, hanya saja mereka berselisih pendapat ttg apa yang dimaksud riba. “Pak Kyai, pada masa iulama klasik kan belum ada bank ya, jadi bunga bank belum disebutkan hukumnya secara jelas, apakah masuk riba atau tidak, meskipun secara implisit kayaknya diharamkan oleh beliau2,” kami menyampaikan pemahaman kami terhadap teks-teks tersebut. Mbah Dalhar terlihat merenung lalu mengatakan, “Hmmm, coba buka Al-Manar, Sahiron!” “Injih, Pak Kyai,” saya menimpali. Saya baca kitab itu lalu saya sampaikan kepada beliau, “Transaksi dengan bank konversional diperbolehkan, Pak Kyai.” Beliau bertanya, “Alasannya?” “Darurat, Pak Kyai. Saat ini belum ada lembaga yang seakuntabel bank. Adapun bunga bank itu fungsinya untuk menjaga kestabilan lembaga perbankan itu,” jawab saya. “Baik, coba semua bahan2 itu ditaruh di mejaku!”, perintahnya lagi. Saya lalu menaruh semuanya di meja beliau. Pelajaran yang bisa kita petik: (1) seorang guru menggunakan metode active learning untuk mendewasakan murudnya, (2) open minded untuk mencari kebenaran, dan (3) interaksi aktif antara guru dan murid.
Oh ya bagaimana kisah selanjutnya, nanti saja. Ini sudah maghrib.
Prof. Dr. Sahiron Syamsuddin adalah Pendiri PP Baitul Hikmah dan Ketua Nawesea