Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng (MQ Tebuireng) seakan-akan tidak ada habisnya mencetak generasi Quran, ia terus mengader para santrinya untuk selalu memasyarakatkan Al-Quran dengan beragam bentuk.
Dalam tulisan ini, ada tiga santri dari ratusan santri yang berhasil mengabdikan dirinya menjadi pengasuh pesantren di usia yang masih tergolong muda.
Kiai Muda yang pertama bernama Muhammad Haris Ubaidillah asal Surabaya terlahir pada tahun 1989 silam. Ia putra kiai tersohor, K.H. Abd Tawwab Hadlory, Pengasuh PP Darus Sa’adah Surabaya, yang wafat pada tanggal 2 Juli 2021 lalu. Kiai yang pernah tercatat sebagai Katib Syuriah PCNU Surabaya dan Ketua Umum Forum Kiai Kampung Nasional (FKKNU), juga termasuk salah satu kiai yang sangat dekat dengan Gus Dur hingga akhir hayatnya.
Gus Qiu, begitu sapaan akrabnya, termasuk santri multi talenta kala mesantren di MQ Tebuireng. Ia bisa melakukan banyak hal, tercatat beberapa kali mengikuti musabaqah seperti MHQ, Syarhil Quran, dan Muhadharah di lingkungan pesantren. Bermain musiknya juga bagus. Ia merupakan salah satu penggagas dan pemain OG Gambus El Kafi MQ Tebuireng, suaranya merdu hingga membuatnya sebagai pelantun shalawat dengan sangat indahnya. Ia bagus dalam bermain sepakbola, kreatif mendekorasi, santri yang tidak bisa diam dan selalu saja ada ide-ide liar yang muncul dalam dirinya. Langkahnya sering liar seliar pemikirannya.
Program menghafalnya pun sukses. Ia tuntas pada tahun 2009, tercatat pada wisuda edisi ke-20 dan berkesempatan menjadi pembaca khatmil Quran di panggung keramat. Ia dipilih karena fashahah dan suaranya memang bagus.
Kelebihan-kelebihannya membuat kepincut hati Dr. K.H. Komari Syaifulloh, Pengasuh Yayasan Al Qomar Wahid, Rowoarto, Patianrowo, Nganjuk untuk mengambilnya sebagai menantu. Pilihan Kia Komari ternyata tepat, setelah menjadi bagian dari keluarga besar sang kiai, Gus Qiu berubah drastis menjadi sosok yang berperan besar dalam pengembangan pesantren. Kini, ia menjadi pengasuh PPIQ Al Qomar Wahid yang telah mencetak puluhan hafidh Al Quran.
Di samping, kesibukannya sebagai pengasuh pesantren, Gus Qiu juga menjadi pengurus RMI NU Nganjuk, berdakwah keliling dan tergabung dalam Dai-Daiyah KPK (Komunitas Pendakwah Keren) Jawa Timur. Pergaulan Gus Qiu yang luas membuatnya cepat akrab dengan siapapun. Beberapa pentolan artis OG Gambus binannya sangt akrab dan aktif bershalawat bersama para habaib.
Gus Qiu adalah kiai muda yang gemar bertani, berkebun, beternak, dan berwirausaha, sebuah ikhtiar untuk tetap berdikari menjaga independensi sebagai manusia yang merdeka seutuhnya.
—
Kiai Muda kedua adalah Herman Maulana, pria asli Tangerang ini pembawaannya tenang, kalem, dan pendiam. Tetapi, bibirnya seolah-olah selalu tersungging senyuman yang enak terus dilihat.
Di balik kepribadiannya yang kalem, tersimpan sebuah kecerdasan dalam dirinya. Kecerdasan tersebut sudah kelihatan di awal-awal nyantri.
Ketika program kamar bahasa Pesantren MQ Tebuireng yang dicetuskan oleh KHM Syakir Ridwan pada 2003 mulai direalisasikan, ia termasuk satu di antara beberapa santri yang lolos seleksi pada program tersebut, program itu menjaring santri-santri terbaik dalam satu tahun angkatan.
Kemampuan bahasanya ini di kemudian hari memudahkan dirinya untuk belajar di negeri para nabi, Universitas Al-Azhar Mesir. Di samping hafalan Al-Quran yang berhasil diraihnya dengan sangat cepat dan sukses di wisuda edisi XVIII tahun 2007 berkat bimbingan langsung K.H. Abdul Hadi Yusuf dan beberapa ustadz seperti Ustadz Achmad Nasiruddin dan Bapak H. Syafi’i Wardi.
Tahun 2016, ia pulang dari Mesir. Dari tahun 2016 hingga 2018, ia mengabdikan dirinya di Pesantren Huffadhil Quran Darut Taqwa Semarang, pesantren milik mertuanya. Pada 2018, ia pulang ke Tangerang mendirikan Majlis Ta’lim dan Majlis Sema’an Al-Qur’an, puncaknya pada Oktober tahun 2019 ia merintis pesantren yang diberi nama Ahlul Quran yang beralamatkan di Poris Jaya Batu Ceper Tangerang Banten.
Mendirikan pesantren di Tangerang tidaklah mudah, jatuh bangun ia rasakan waktu awal-awal merintis, dari santri 1 orang terus bertambah hingga sekarang santri yang nonmukim sekitar 70 orang dan santri yang mukim 15 orang.
Kesibukan lainnya di samping mengasuh pesantren, juga tercatat mengajar di beberapa lembaga antara lain mengajar di PP Darul Quran milik Ustadz Yusuf Mansur, PP Darul Hasan Cipondoh, SMP & SMA Islam Al-Azhar BSD, dan mengisi beberapa Majlis Ta’lim sekitar Tangerang.
—
Adapun Kiai Muda yang terakhir adalah Abdur Rozzaq, pria asli Sidoarjo. Ia menyelesaikan hafalannya dengan sangat cepat, masuk pesantren MQ Tebuireng tahun 2003 dan diwisuda hafidh edisi tahun 2005.
Keberhasilannya ini, diakuinya berkat sentuhan dingin sang pembina Al-Qurannya, Ust. Muhibuddin Ikhwan.
Untuk mematangkan kualitas hafalannya, ia mentashihkannya kepada para guru senior, Ustadz H. Syafi’i Wardi, Almarhum K.H. Wiji Basuki, Almarhum K.H. Munawar Hidayat.
Setelah cukup matang hafalan Al-Qurannya, ia bersama teman-teman Aliyah seangkatan melanjutkan studinya ke UIN Maliki Malang yang pada waktu itu tercatat sebagai angkatan dengan jumlah terbanyak.
UIN Maliki Malang sangat ramah dan perhatian terhadap mahasiswa penghafal Al-Quran, tercatat Abdur Rozzaq adalah mahasiswa penerima beasiswa hingga akhir kuliah berkat hafalan Al-Qurannya.
Di kampus ini, ia menemukan gadis pujaannya. Seorang wanita yang menantangnya jika dirinya serius menjalin hubungan dalam ikatan pernikahan, maka ia harus berani datang menghadap kedua orang tuanya. Dengan berani dan bersungguh-sungguh tantangan ini benar-benar di buktikannya hingga ia benar-benar mewujudkannya ke jenjang pernikahan.
Di titik inilah perubahan dirinya dimulai, sang paman dari istrinya mempunyai lembaga pesantren yang besar dengan santri berjumlah ribuan. Ia diamanahi untuk bersama-sama mengembangkan pesantren, terutama di bidang tahfidh karena pesantren ini belum mempunyai seseorang yang ahli di bidang tahfidh.
Amanah itu dijalankannya dengan sungguh-sungguh dan usahanya berbuah hasil. Tepat pada tanggal 27 Juni 2021 yang lalu, pesantren PPAI Al-Aziz Banjarpatoman Dampit Malang tersebut mewisuda hafidh pertama kalinya berjumlah satu orang santri. Ia berpedoman pada wejangan guru-guru dan kiai-kiainya bahwa “berapapun pesertanya harus diwisuda”, karena hal yang besar semua berawal dari yang kecil.
Sebuah usaha untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa lembaga yang awalnya tidak memiliki latar belakang pendidikan Al-Quran ternyata mampu mencetak penghafal Al-Quran. Keberhasilan yang menyemangati, membangkitkan, dan menginspirasi santri-santri yang lain maupun masyarakat sekitar untuk bersama-sama bercita-cita menghafal Al-Quran.
Kiai-kiai Muda ini sangat bahagia karena bisa berkhidmat ikut andil melestarikan tradisi menghafal Al-Quran sesuai dengan yang diajarkan di Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng, memperjuangkan apa yang disukai dan digemari oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari yang begitu cinta dengan para penghafal Al-Quran.
Semoga ketiganya selalu dalam nuangan Allah Swt.
Keterangan foto : Muhammad Haries II (Kiri), Herman Maulana (Tengah), Abdur Rozzaq (Kanan). Galeri Madrasatul Quran, IAMQ Sidoarjo