Dia biasa dipanggil Gus Im, putera bungsu KHA Wahid Hasyim, salah satu anggota tim 9 perumus UUD 1945. Namanya Hasyim bertafa’ul kepada nama kakeknya, KHM Hasyim Asy’ari. Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU)
Aku telah diberi kesempatan sekali bertemu dengannya. Di Rumah Sakit St Carolus Jakarta. Waktu itu, 2016, ia terbaring lemah di ranjang. Tapi, sorot matanya yang tajam kepadaku, tak mampu aku menentangnya. Dalam tunduk yang hormat, aku cium tangannya. Tak banyak bicara, karena memang tak ada yang harus dibicarakan. Di dalam hati, aku hanya berdoa dan memohon barokah dari pertemuan yang langka itu.
Di antara saudara K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Gus Im dikenal misterius. Jarang menampakkan diri dan sulit ditemui. Fotonya juga sulit dicari.
Ketika menjelang geger reformasi 1998, kami, santri-santri di Tebuireng, diminta untuk istighosah. Memanjatkan doa untuk Gus Im. Perintah itu datang dari pengasuh pondok, karena sudah waktunya Gus Im turun gunung. Pada waktu itu, Gus Im sedang melakukan pertapaan di sebuah gunung yang tidak diketahui.
Dari cerita mulut ke mulut, Gus Im lebih sering menemani Gus Dur di kantor PBNU di jalan Kramat Raya Jakarta, terutama menjelang peristiwa bersejarah “Reformasi”. Gus Im beserta pasukan utamanya mengawal keamanan dan mengatur strategi politik Gus Dur di lapangan.
Sorot matanya setajam elang. Menggetarkan. Menusuk hingga ke ulu hati. Ia meninggalkan jejak-jejak syair-syair mistis yang sulit dimengerti. Namun, tak pernah tertulis dari deretan nama-nama sastrawan panggung. Kepiawaian merangkai kata tak kalah ampuh seperti saudara-saudaranya yang lain: Gus Dur, Gus Sholah, atau Gus Ishom. Kemampuannya membuat peta dunia, menjadi rujukan pemuda-pemuda pergerakan.
Ia seperti pemuja Tan Malaka. Sayap senyapnya tak terbaca, bahkan seorang AR sekalipun. Di Selopanggung, Kediri, Gus Im menemukan kuburan Tan yang telah hilang sepanjang tahun masa-masa Orde Baru. Sehingga keluarga Tan pun dapat merawat janazah yang tak utuh lagi, dipindah ke tempat yang lebih baik, Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota.
Gus Im memberi inspirasi anak-anak muda, terutama NU, dalam melakukan gerakan bawah tanah. Ia selayak Che Guevara yang lahir dari rahim pesantren. Mengendalikan jaringan senyap internasional dan dunia gelap lainnya. Di telinganya, selalu terdengar senandung antara desing peluru dan lagu-lagu underground. Lagu-lagu yang juga tak pernah membuatnya diam dan nyenyak tidur.
Gus Im memang memiliki hobi yang unik. Ke mana-mana ia pergi selalu mencari-cari barang antik. Terutama keris. Ia hapal jenis-jenis keris dan pamor-pamornya.
Pagi ini, Gus Im wafat, innalilahi wa inna ilaihi roji’un, di Rumah Sakit Mayapada Jakarta pada pukul 04.18. 1 Agustus 2020.