Pengantar Sejarah Indonesia sering menyebutkan Walisongo hanya terdapat di Pulau Jawa.
Terlebih dahulu, sebaiknya Walisongo harus dijelaskan sehingga pemahaman tentang Walisongo dapat lebih dimengerti.
Penelitian sejarah dengan pendekatan sosio-antropologi memang masih sangat jarang dilakukan oleh sarjana-sarjana Indonesia, bahkan dunia secara umum. Sejarah hanya dipahami sebagai cerita-cerita masa lalu yang bisa direkonstruksi melalui bukti-bukti artefak, manuskrip, atau bangunan-bangunan arsitektur seperti candi dan masjid. Sehingga untuk menjelaskan sejarah sebagai sebuah penafsiran masih sangat jauh dari harapan. Tumpang tindih historiografi (penulisan sejarah) akhirnya mengalami kesalahan-kesalahan berkepanjangan.
Para sejarawan sepakat, apabila proses Islamisasi di Nusantara (Indonesia) melalui akulturasi dan asimilasi yang umum berlangsung dalam sebuah proses budaya. Sehingga tidak menampik adanya persilangan yang kian meghidupkan atau membumikan Islam dalam ranah historis yang baru seperti di Nusantara.
Secara historis, kehidupan umat beragama di Nusantara sudah berjalan massif sebagaimana Siwa, Wisnu, Brahma, Indra, Buddha, dan lain-lain. Mereka berakulturasi sebagaima ajaran-ajaran Siwa bertemu dalam Siwa-Buddha. Ajaran-ajaran Siwa, Wisnu, dan Brahma bertemu dalam Trimurti. Begitu pula Buddha dan tradisi lokal yang melahirkan aliran Trantrayana di Indonesia atau aliran Zen (Sinto-Buddha) di Jepang. Secara sosio-historis, mereka membentuk komunitas-komunitas pendidikan dan pengajaran yang terpisah dari kehidupan masyarakat secara umum. Komunitas-komunitas tersebut karena menggunakan waktu secara intensif, mereka membutuhkan sebuah tempat tinggal yang dinamakan asrama (ashram). Bagi umat Hindu, mereka membangun asrama-asrama yang tidak jauh dari kuil dan candi-candi pemujaan. Begitu pula, umat Buddha membangun asrama-asrama di seputaran biara (wihara) atau candi-candi pemujaan. Sementara umat Islam, membangun asrama-asrama beserta masjid, langgar atau mushalla yang dikenal sebagai cikal bakal pesantren.
Di asrama-asrama tersebut, komunitas tersebut membangun persaudaraan yang dikenal dengan Sanggha atau Sanggam (dalam dialek yang lain). Kata Sangha tersebut yang kemudian menjadi ejaan yang umum dan mudah diingat bagi masyarakat Jawa dengan sebutan Songo. Jika demikian komunitas-komunitas pendidikan dan pengajaran berbasis agama tersebut sebenarnya tersebar ke seluruh Nusantara, tidak terkecuali wilayah Asia Tenggara yang berpenduduk muslim. Sehingga yang dinamakan Walisongo atau Wali Sangha tersebut adalah persaudaraan yang dibangun dari sebuah komunitas untuk mencintai orang-orang yang dekat kepada Allah Ta’ala yang di dalam literatur Islam dikenal dengan sebutan wali atau awliya. Oleh karena itu, dapat disimak keterangan Maulana Habib Luthfi bin Yahya berikut.
—
Sebenarnya Wali Sanga di Indonesia itu tidak hanya yang biasa dikatakan oleh ahli sejarah, Saya akan bercerita tentang Wali Sanga yang ini menyimpang dari para ahli sejarah. Ahli sejarah itu membuatnya berdasarkan kepentingan politik. Wali sanga itu ada lima generasi.
Generasi pertama dipimpin oleh Syaikh Jamaludin Husein atau Syeikh Jumadil Kubro yang membawahi delapan wali lainnya. Sebagian terpencar di Sumatera.
Generasi kedua dipimpin oleh Syaikh Maulana Al-Malik Ibrahim yang membawahi delapan wali lainnya diantaranya Sayyidina Imam Quthub Syarif bin Abdullah Wonobodro, Syaikh Muhammad Sunan Geseng, Sayyid Ibrahim, Sunan Gribig, Amir Rahmatillah Sunan Tembayen, Imam Ali Ahmad Hisamuddin (Cinangka, Banten lama), al-Imam Ahmad Zainul Alam.
Generasi ketiga dipimpin oleh Imam Maulana Ibrahim Asmoroqondi/ Pandito Ratu (Tuban, Gresik) yang membawahi delapan sunan, diantaranya: Sunan Ali Al-Murtadlo (Genjang), Wali Lanang (Maulana Ishaq), Imam Ahmad Rahmatillah, Sayyid Jalal Tuban, Syaikh Datuk Kahfi/ Dzatul Kahfi/ Sayyid Mahdi Cirebon, Syaikh Muhammad Yusuf Parang Tritis Jogja, Syaikh Maulana Babullah (Belabenung).
Generasi keempat dipimpin oleh Imam Ahmad Rahmatillah (Sunan Ampel) yang membawahi delapan sunan diantaranya: Sultan Abdul Fatah, Sunan Drajat, Syaikh Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syaikh Maulana Utsman Haji, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman (Sunan Mejagung), Syaikh Maulana Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Sayyid Abdul Jalil (Sunan Bagus Jeporo, Bukan Syaikh Siti Jenar).
Generasi kelima dipimpin oleh Sunan Bonang yang membawahi delapan wali, diantaranya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijogo, Sultan Trenggono, Sunan Zainal Abidin/ Qadli Demak, Sunan Muria.
Pada masa Syaikh Jamaluddin Husein perjuangan dititikberatkan pada keorganisasian, dedikasi, ekonomi. Kemudian dilanjutkan dalam dunia pendidikan dan pengkaderan pada masa Sayyid Malik Ibrahim, sehingga dapat memasuki wilayah kerajaan tanpa campur tangan politik dan (imbalan) ekonomi. Selanjutnya pada masa Syaikh Asmoroqondi, mulai dilakukan pengaturan struktur organisasi sebagai media dakwah serta memperkuat perekonomian dan spiritual. Selanjutnya pada masa Sunan Ampel dilanjutkan dengan pemetaan geografi dan antropologi, pembangunan ekonomi dan pertanian, pengelolaan tanah hadiah dari Hayam Wuruk dan Gajah Mada, sehingga bisa menghidupi dakwah dan pendidikan. Selain itu, kerapian organisasi lebih disempurnakan sehingga melahirkan ketatanegaraan/negarawan, ekonom, pertanian, yang diantaranya dipegang oleh putra beliau, Maulana Hasyim, seorang ulama, fuqoha, tasawwuf, ekonom, mampu memberdayakan ekonomi umat, sehingga fuqara, masaakin, aytam, dan para siswa terjamin hidupnya.
Sunan Bonang; merupakan seorang yang ‘allaamah, membidangi segala ilmu, guru besar dari para sultan/ratu, senopati, adipati, tumenggung, dan guru para wali dan ulama. Kedudukan beliau shulthaan al-auliyaa’ fii zamaanihi.
Imam Ja’far Shadiq; merupakan seorang muhaddits dan faqiih, mahir ilmu kelautan, ekonomi, dan pola pendidikan sehingga mampu mensejahterakan kerajaan dan lingkungan, serta seorang budayawan.
Sunan Kalijogo; merupakan seorang ‘alim yang sangat memahami budaya, sekalipun aliran-aliran dan agama lain, sehingga mampu mengendalikan segala aliran, dari situ beliau mendapat gelar Kalijogo (kalinya aliran-aliran). Disamping itu, beliau merupakan budayawan, seniman, pengarang gending dan lagu yang berbentuk puisi ataupun syair. Beliau juga seorang dalang yang mampu memadukan dari mahabharata menjadi carangan, dari carangan menjadi karangan dan karangan itu menjadi pakem para dalang. Media tersebut juga menjadi media dakwah.
Sunan Giri (Muhammad ‘Ainul Yaqin); merupakan seorang yang mahir hukum, mufti di zamannya dan fatwanya sangat ditaati, pengaruh beliau sampai pada anak cucunya, diantara keabsahan para sultan di jawa, beliaulah yang melantiknya.
Sultan Abdul Fatah; merupakan seorang ‘alim bijaksana, luas wawasannya dalam kebangsaan, seorang negarawan, seorang politisi yang sangat rapi dalam mengatur struktur pemerintahan di zamannya, pengaruh beliau sampai malaka bahkan Turki di zaman itu.
Syaikh Ali Zainal Abidin / Qadli Demak; merupakan orang yang ‘allamah, kebijakan-kebijakan beliau dalam syariat sangat dihargai pada waktu itu, beliau sangat sukses dalam menjaga pemerintahan, keamanan, dan pertahanan nasional.
Sunan Gunung Jati; merupakan orang yang sangat ‘allamah, negarawan, budayawan, ahli strategi, pengaruhnya sangat luar biasa di kalangan muslim maupun non-muslim, disegani dan dicintai umat, serta menjadi pelindung umat dan bangsa.
Sunan Muria; merupakan shulthaan al-Auliyaa’ fii zamanihi, pembesar ahli thariqah, budayawan, seniman, ekonom. Pengaruh beliau sangat luar biasa dari semua kalangan menengah, atas, dan bawah. Pertumbuhan thariqoh di zamannya mekar. Beliau pendamai dan sangat disegani dan dicintai umat.
Sunan Bagus Jeporo (Syaikh Abdul Jalil); merupakan seorang sufi yang faqih, pengendali dari bentuk gejolak yang akan membawa perpecahan, sehingga tumbuh kedamaian dan ketentraman. Syaikh Abdul Jalil ini bukan Syaikh Abdul Jalil yang Syaikh Siti Jenar.
Demikianlah Siroh singkat Wali Songo yang disampaikan Habib Muhammad Luthfi Yahya di ndalem beliau pada hari jumat tanggal 13 April 2012,
Semoga kita bisa mengambil pelajaran, hikmah, dan menjadikan kisah di atas sebagai teladan untuk gerak dan perjuangan kita. Amien. Al-Fatihah.