Cerita lanjutannya begini. Bahan-bahan untuk Bahtsul Masa’il tentang bunga bank ada di atas meja Mbah Kyai Dalhar. Saya yakin beliau sudah mengecek ulang teks-teks tafsir tersebut. Pada hari diadakannya Bahtsul Masa’il, pagi-pagi beliau memanggil lagi kami berdua (Mas Mahmudi dan saya).
“Sahiron, semua nushush tafsir yang kamu fotokopi sudah saya baca. Siang ini Bahtsul Masa’il akan diadakan,” beliau ngendikan. “Injih, Pak Kyai,” kami matur dengan penuh rasa hormat.
“Hmmm, tapi saya harus menghadiri acara lain yang tidak bisa ditinggalkan, jadi … kamu dan Mahmudi saya perintahkan untuk berangkat ke Pondok Pesantren Kota Gedhe, menghadiri Bahtsul Masa’ail. Nanti semua bahan ini kalian bawa,” dawuh beliau.
“Sendiko dawuh, Pak Kyai. Kami akan ke sana dan membawa bahan-bahan itu,” saya menjawab sambil diselimuti rasa kurang percaya diri. Meskipun demikian, kami bertekad akan melaksanakan tugas ini. Kami hanya berpikir bahwa kami hadir lalu menyerahkan teks-teks tafsir itu. Selebihnya kami tidak berpikir.
“Tapi begini, Sahiron dan Mahmudi, bahan-bahan ini sangat penting,” beliau berkata dengan sangat serius.
“Injih, Pak Kyai, sangat penting,” kami menimpali dengan penuh hormat.
“Jadi, nanti kalau sudah sampai di lokasi, kamu sampaikan dua hal. Pertama, tolong sampaikan salam ta’zhim saya kepada para kyai yang hadir di sana. Sampaikan permohonan maaf saya juga kepada beliau-beliau karena saya tidak bisa hadir karena ada acara yang tidak bisa ditinggalkan,” demikian beliau berpesan.
Kepala saya saat itu terasa sudah mulai sangat berat karena tugas ini. Maklum saja, kami berdua saat itu hanya santri, sedangkan beliau-beliau yang akan hadir di forum adalah para kyai. Di benak kami saat itu: “Bagaimana kami bisa menyampaikan pesan itu kepada beliau-beliau?” Kami kuatir saja tidak punya kesempatan untuk menyampaikan. Beraaaat sekali rasanya. Tapi demi Sang Guru, kami bertekad melaksanakannya, entah gimana caranya.
“Kedua, mmm … (beliau berpikir keras), kamu atau Mahmudi harus menyampaikan isi teks-teks tafsir itu di hadapan para kyai,” beliau mengatakan dengan penuh hati-hati.
Mendengar pesan kedua ini, hati saya dan mungkin Mas Mahmudi berdebar-debar. Seakan-akan kami disambar gledek. Sangat kaget. Saya mau pingsan mendengar itu. Saking berat tugas ini saya sempat meneteskan air mata. Saya tidak melihat wajah beliau. Saya tidak tahu apakah Mas Mahmudi juga meneteskan air mata. Kepala saya terasa tambah berat dan nafas saya mulai tersengal-sengal.
Dalam keadaan kekalutan semacam ini, beliau lalu mengatakan, “Lakukan semampu kamu, Sahiron, mewakili saya. Insya Allah para kyai akan mendengarkan kamu.”
Saking kalutnya, saya dan Mas Mahmudi terdiam cukup lama. Tidak bisa berkata apa-apa. Bingung dan mencekam. Lha bagaimana tidak mencekam, tugas ini terasa membuat badan saya, mungkin Mas Mahmudi, lemas, lemah lunglai.
“Sahiron, saya tahu bahwa hal ini sangat berat bagi kamu dan Mahmudi,” beliau memahami kami. “Tapi insya Allah hal ini akan bermanfaat bagi kamu berdua,” beliau meyakinkan kami.
Akhirnya, saya menjawab, “Injih, insya Allah kami lakukan. Kami mohon doa restu panjenengan.”
“Yo wes, kowe saiki mangkato kono!” (Ya sudah, sekarang kalian berangkat ke sana!), titah Sang Guru.
“Injih, Pak Kyai, dalem nyuwun pamit,” kata kami.
“Yo, bismillah,” beliau berkata mengakhiri dialog kami.
Kami mandi lalu berpakaian ala santri dan berangkat ke PP Nurul Ummah Kota Gedhe. Saya dibonceng oleh Mas Mahmudi karena saya belum bisa mengendarai sepeda motor.
Bagaimana selanjutnya …. nanti saja ya. Ini mau shalat Ashar soale.
Prof. Dr. Sahiron Syamsuddin