Jika di sebuah kampung, ada seorang anak yang mesantren kemudian sukses, maka anak tersebut akan menjadi inspirasi bagi anak-anak lain yang berada di kampung tersebut untuk mengikuti jejaknya.
Cara yang paling mudah yakni mesantren di tempat yang sama dengan anak yang sukses tadi, begitu seterusnya hingga akhirnya banyak anak-anak di kampung tersebut mesantren di tempat yang sama setiap tahunnya.
Apabila anak tadi mempunyai saudara dan berkeinginan mesantren juga, maka orang tua kebanyakan akan memilih dimana sang kakak mesantren karena berbagai alasan diantaranya sang kakak akan bisa membantu adiknya beradaptasi di awal-awal saudaranya yang mesantren tadi.
Hal ini juga terjadi pada putra-putra pasangan Bapak Aep Saepulloh dan Ibu Suryani Bandung, keempat putranya secara berurutan mesantren di Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng.
Putra pertama beliau bernama Asep Nurdin, selepas lulus sekolah dasar, Asep ingin sekali keluar jauh dari rumah untuk mencari ilmu dan pengalaman, setelah berkonsultasi dengan sepupunya yang lebih dahulu mesantren yakni Mang Cecep Eman Sulaeman, yang tak lain adalah menantu pertama Dr. K.H. A. Musta’in Syafi’i dan atas saran dari orang tua, ia jatuhkan pilihannya untuk pergi belajar ke Tebuireng.
Mulailah ia mesantren pada tahun 1999, di MQ Tebuireng ini berkesempatan lebih dahulu masuk jenjang I’dadiyah (sekolah persiapan sebelum masuk ke jenjang Tsanawiyah selama satu tahun), kemudian Tsanawiyah dan Aliyah sekaligus mengambil program tahfidh seperti kewajiban santri lainnya di bawah bimbingan Ustadz Achmad Nur Qomari Aziz yang sekarang menjadi anggota Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran.
Setelah lulus dari Aliyah MQ Tebuireng pada tahun 2006 ia kembali ke Bandung untuk melanjutkan studi strata satunya ke Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung.
Selepas studi, suami dari teteh Asyifa Sari ini lebih memilih berwirausaha di bidang material bangunan, sekaligus mengisi hari-harinya bergelut dengan Al-Quran dalam rangka mengamalkan ilmu yang telah di dapat dari pesantren dengan menjadi pengurus “sadesha” (satu desa satu hafidh) sebuah program dari pemerintah Jawa Barat.
Selain itu ia menjadi ketua DKM Mesjid Al Muhajirin Perum Panorama Bandung, Menjadi Imam, Muballigh dan membina masyarakat untuk melek baca Al-Quran dari anak hingga orang tuanya.
Ia mengaku ketika di pesantren kurang maksimal dalam belajar, tetapi dirinya merasa bahwa do’a dari para kyai dan guru-gurunya, ia rasakan barokahnya ketika berada di tengah-tengah masyarakat. Ia juga meyakini segala kemudahan dalam hidupnya merupakan berkah dari “ngopeni” masyarakat belajar Al Quran, “berkah Al-Quran itu luar biasa” demikian pengakuannya.
Melihat sang kakak yang begitu menikmati belajar di MQ Tebuireng, dan juga keberadaan kelima sepupunya yang lebih dahulu mesantren di sana, akhirnya sang adikpun mantab mengikuti jejak sang kakak.
Nama adiknya adalah Agus Sudiansyah, ia mulai berangkat ke Tebuireng tahun 2002, belajar dari mulai Tsanawiyah hingga Aliyah, menempuh hafalan Al-Quran hingga selesai dan berhasil di wisuda hafidh tahun 2007.
Setelah “boyongan” dari pesantren, ia melanjutkan pendidikannya di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Bandung, selesai kuliah ia mengajar Al Quran di pendidikan formal, ia tercatat sebagai guru di SMA Baitul Anshor Cimahi hingga sekarang.
Selain mengajar ia juga mencoba untuk menjadi wirausahawan kecil-kecilan yang ia impikan akan menjadi besar nantinya, aktifitas sehari-hari lainnya adalah menyempatkan untuk selalu bisa bermain dan belajar bersama dengan putri semata wayangnya.
Berselang satu tahun, sang adik yang nomor tiga juga kepincut untuk mesantren di MQ Tebuireng.
Sang adik bernama Muhammad Ilham Nugraha, memulai pengembaraan ilmunya di MQ Tebuireng tahun 2003 hingga 2009, seperti dua kakaknya ia menjadi warga Asrama Darus Salam, asrama favorit karena letaknya di lantai satu dekat dengan koperasi makan, masjid dan sekolah.
Sekarang ia menjadi pengajar di SMA Al Aziz Islamic Boarding School Cisarua Bandung Barat, di sekolah ini ia juga menunggu setoran hafalan Al-Quran sekaligus mengajar tahsinul Quran, kesibukannya ini ia jalani selepas lulus kuliah dari Universitas Islam Bandung.
Langkah ketiga putra dari seorang bapak yang bekerja di PT. Dirgantara Indonesia dan ibu seorang guru ini, disempurnakan oleh putra keempatnya yakni Toni Mahfudin, Toni hanya mengenyam pendidikan di lembaga ini selama tiga tahun, dari mulai tahun 2005 hingga 2007 waktu yang sebentar tetapi sudah mempunyai dasar-dasar keagamaan dan bacaan Al Quran yang bagus, sebuah bekal untuk membentengi dirinya dari pengaruh gaya hidup dan perang ideologi yang begitu dahsyat di kota Bandung.
Toni seorang wirausahawan sejati, kuliah mengambil jurusan manajemen bisnis, usaha yang digelutinya yakni produksi kerudung dan rental mobil, dari usahanya ia mampu mempunyai rumah sendiri di daerah Cicalengka Bandung Timur dan siap menikah bulan November 2021 yang akan datang.
Toni selalu mensupport apa yang diperjuangkan oleh ketiga kakaknya dalam memasyarakatkan Al-Quran dengan usaha dan caranya sendiri.
Sang bapak dan ibu dari keempat putra di atas adalah pegawai negeri sipil yang cinta terhadap Nahdlatul Ulama, ia ingin anak-anaknya mesantren di pusat pendiri Nahdlatul Ulama berada, cita-cita beliau berdua sudah terwujud, keempatnya kini siap menjadi manusia-manusia yang anfa’uhum linnas.