Tarekat atau thariqah adalah jalan menuju Allah Ta’ala. Kum sufi beranggapan, ada banyak jalan menuju Allah sebanyak tarikan nafas makhlukNya. Hipotesis awan ini setidaknya memudahkan dalam mengartikan tarekat bagi setiap muslim.
Secara definitif, tarekat menurut K.H. Syansuri Badawi (sependek bacaan saya), terbagi dua. Tarekat umum dan tarekat khusus. Tarekat umum dalam pengertian ini berarti setiap umat Islam yang sudah melaksanakan rukun Iman, rukun Islam, dan rukun Ihsan, ia sudah dipandang pelaku tarekat secara umum. Meskipun belum melakukan tarekat secara khusus. Dengan kata lain, setiap orang yang sudah melaksanakan syariah dengan baik, dia sudah dipandang sebagai pelaku tarekat secara umum.
Namun, untuk mencapai dan mengenal tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan tertentu, maqam dan hal, seseorang memerlukan guru (mursyid) yang sudah berpengalaman, baik itu secara generatif maupun direktif (ditunjuk langsung). Pada masa awal, ketika sahabat-sahabat masih menjumpai masa kenabian secara langsung, mereka bisa berkreasi sesuai petunjuk langsung (direktif) dari Rasulullah saw. Begitu pula ketika masih pada zaman tabi’in. Meskipun ada anggapan, Rasulullah saw secara direktif telah menunjuk Sayidina Ali Al-Murtadla dan Sayidina Abi Bakar Al-Shiddiq (teknik zikirnya bisa dipelajari dari jalur-jalur tarekat yang telah berkembang saat ini). Untuk memasuki jalur khusus ini, maka diperlukan teknik dan tatacara yang sudah dianggap baku oleh masing-masing tarekat.
Tarekat sebagai jalan tasawuf mengalami perubahan sosial yang signifikan ketika dimulai pada masa Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Pada masa ini, tarekat telah menjadi organisasi masyarakat yang terstruktur, meskipun juga masih bisa ditarik lagi ke belakang kepada tarekat Ahlul Bait. Tradisi keluarga Nabi saw. Namun, sebagai fenomena sosial, tarekat mulai dikenal sejak masa Syekh Abdul Qadir Al-Jilani tersebut, sebab tarekat sebagai jalan sufi sebelumnya dilakukan lebih banyak secara personal sebagaimana tasawuf falsafi.
Perkembangan tarekat sebagai gejala sosial, apalagi sebagai ilmu, sangat menarik untuk dikaji. Meskipun yang ada yang beranggapan: tarekat itu praktis (menggunakan rasa). Jadi, tidak perlu pengkajian yang lebih dalam. Namun, tindakan dan penerimaan secara praktis tersebut tidak serta merta dapat diterima oleh kalangan-kalangan akademisi. Harus ada kajian khusus secara kritis. Mereka tidak dapat menerima sebuah doktrin normatif selama belum dapat diuji secara empiris (pengalaman lapangan). Dibutuhkan penelaran-penalaran yang bisa secara rasional. Sebagaimana pengalaman-pengalaman yang sudah dilakukan oleh sufisme-sufisme besar. Karena, sufisme-sufisme besar tersebut yang mampu menjelaskan secara rasional setiap pengalaman-pengalaman empiris.
Tarekat sering dipandang sebagai tasawuf praktis di dalam kehidupan sosial, maka diperlukan dialog secara intensif dan berkesinambungan. Tarekat itu tidak pernah berhenti hingga nafas berhenti. Dialog-dialog yang diperlukan itu bisa dilakukan secara lahir maupun batin. Secara lahir, dia mempelajari dan melaksanakan semua aspek syariah, kitab suci, dan sunnah (tradisi) Nabi saw. Secara batin, ia memerlukan diri berdialog dengan dirinya, guru-guru (mursyid)nya, para shalihin, bahkan semua nabi, secara khusus Rasulullah saw. Terakhir, kepada Allah Ta’ala melalui alam-alam sebagaimana yang sudah diterangkan oleh hadis qudsi maupun yang sudah berpangalaman di jalannya.
Intinya, tarekat adalah hakikat sebuah pengalaman yang panjang dan kaya. Meskipun seseorang sudah mencapai tingkat keruhanian tertinggi (mi’raj), ia mesti kembali kepada keadaan semula sebagai manusia dan hamba. Kini dan di sini.