Saya beberapa kali menemui kawan santri sepuh yang memiliki pemahaman agak saklek soal materi. Mereka memiliki pandangan yg meremehkan dunia dan hanya mementingkan akhirat saja. Sehingga melakukan pengabaian berbagai aktivitas dunia demi mengharapkan kebahagiaan abadi. Ini agak meresahkan karena hal demikian menyalahi teladan yang dicontohkan Hadraturrasul Muhammad Saw.
Sejatinya tak ada dualisme spiritual-material yang buruk. Dunia ini diciptakan Allah dan dibuat tunduk kepada manusia. Inilah kemudian menjadikan sebab Muslim ortodoks sering melawan aliran-aliran tasawuf yang meremehkan dunia dan hanya beraktivitas untuk akhirat saja.
Spiritualitas dalam Islam apalagi yg dicontohkan Nabi bukanlah penolakan atas dunia. Melainkan penguasaan dunia melalui penyatuan dengan suatu Pusat untuk memunculkan keselarasan yang melandasi pencarian pada Yang Maha Mutlak.
Kerajaan Tuhan, seperti yang diberitakan oleh Nabi mencakup juga dunia ini. Karena itu, seorang sufi yang sepenuhnya menenggelamkan diri dalam bayangan Tuhan dan enggan kembali ke dunia material bertentangan dengan teladan Nabi.
Bahwa Nabi Muhammad adalah utusan yang mampu memanfaatkan sarana-sarana duniawi dalam memyampaikan pesan yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Termasuk peran ganda yang dilakukan Nabi Muhammad yang sulit diterima oleh pemikiran Barat. Yaitu mencampur urusan agama dengan negara. Ya Nabi, ya Negarawan.
Sehingga muncul persepsi bahwa Nabi dahulu adalah juru dakwah yang saleh, setelah hijrah ke Madinah dia menjadi politikus yang dianggap “kejam”.
Yang justru di masa modern ini ketajaman politik Nabi Muhammad saat itu dipuji-puji dan dijadikan rujukan/model bagi lembaga atau negara dalam menjalankan demokrasi, ekonomi, dan sosialnya.
Keunikan peran Nabi menurut tradisi tasawuf menjadi tanda kehebatan pribadi Nabi dan kebenaran pesan yang dibawanya. Karena tak mungkin Tuhan mengutus Nabi Muhammad lalu tidak memberinya keberhasilan dan tidak mendorong untuk memimpin masyrakatnya dengan baik!
Saya jadi ingat gojlokan guru saya. Puasa, yang urusan balasannya langsung dari Tuhan masih memerlukan wasilah berbuka dan sahur (duniawi) untuk menyempurnakannya.
Ngunu ya ngunu, nanging ojo ngunu.
Tebuireng, 14 Agustus 2021.
Catatan dalam sebuah renungan menjelang hari kemerdekaan. Waktu itu, Hiroshima (14/Agustus/2021) dan Nagasaki (15/Agustus/1945) pada hari berikutnya. Harga kemanusiaan tidak ada.