Sepulang dari rumah Akang Wafi Ayatullah. Dalam perjalanan yang membawa saya menemukan sebuah banner besar, terpasang di pertigaan jalan besar. Tempat yang strategis. Pandai sekali yang memasang. Jadi, semua yang berhenti di pertigaan tersebut “dipaksa” untuk melihatnya. Namun sayangnya, saya bukan dipaksa untuk tertarik, tapi lebih ke arah bergidik, bahkan jijik. Tertulis besar di-bannernya, “Hafal 30 Juz Tanpa Mondok”.
Sekilas, perasaan saya bercampur aduk membacanya. Kesal, karena sedikit banyak, pesantren (atau yang mereka bilang pondok itu), telah banyak mewarnai sebagian besar hidup saya. Karena sejak kelas 5 sekolah dasar, saya sudah dikirim abah saya ke pondok. Miris, karena melihat pola marketing “negatif” tersebut. Mereka ingin dianggap baik, tapi dengan menjelekkan lembaga pendidikan lain. Dan kasihan, karena di bawah tulisan besar itu, ada beberapa foto yang mereka pajang sebagai “branding”. Itulah hasil “produk” mereka.
Tulisan ini bukan untuk mendikotomikan alumni pondok dan tidak. Karena jika begitu, apa bedanya dengan mereka? Namun. sebagai pribadi yang bangga pernah mondok, saya ingin mencoba menelisik kembali, mengapa sedemikian alergi mereka dengan pondok hingga membuat “marketing” sedemikian negatif?
Mondok adalah bersiap untuk belajar banyak hal. Di Malang, ketika saya masih usia sekolah dasar, saya banyak belajar untuk “survive” dan mandiri. Mengelola keuangan yang diberikan orangtua setiap bulan, dan bertahan ketika kiriman itu habis. Belajar sosial dengan menyeleksi teman dan belajar ilmu-ilmu yang bahkan belum pernah dikenal sebelumnya, nahwu dan shorof contohnya.
Selanjutnya, enam tahun saya habiskan di MQ Tebuireng Jombang. Menghafal al-Quran sambil bersekolah adalah bukan hal yang mudah. Yang tidak mudah adalah bagaimana menyeimbangkan jam belajar dan mwnghafal dengan harmonis dan saling melengkapi.
Setahun di Pesantren Sawohan Buduran, saya belajar kemandirian tingkat dewasa. Bagaimana memasak untuk kawan-kawan saya setiap pagi dan sore. Dan, tetap menyiapkan setoran hafalan setiap pagi di bawah bimbingan Kiai Mabrur Syaibani yang penyayang dan penyabar.
Sungguh saya sebagai seorang yang masih aktif di sebuah lembaga sekolah dan berada di tim al-Quran pula berani menjamin seribu persen: persepsi dan proses yang ada di sekolah dan pondok itu berbeda jauh, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Sebuah fakta yang baru saya temukan adalah ketika saya berkunjung ke ibukota Jakarta, menemui Kiai Fahmi, Khairul, Ahmad Nur Qomari, Saifudin Elmi, Fahrur Rozi, Zainal Arifin Madzkur, Mustofa Acep; teman saya yang bukan alumni pesantren berkata kepada saya,”Temannya ustadz Akhi banyak ya?”
Mereka kagum dan heran. Dalam hati, saya yang terdalam dengan lantang berkata, “Ini adalah berkat doa para kiai di pesantren kami, hingga kami bisa merasakan keberkahan, walau tidak berada di pesantren lagi.”
Pesantren tidak melahirkan kecerdasan, walau sebenarnya telah banyak orang-orang cerdas terlahir darinya. Pesantren adalah benteng terakhir peradaban manusia. Hingga K.H. Dr. Ahmad Musta’in Syafi’ie berkata, “Jika kalian bertanya kapan kiamat datang, yaitu ketika pesantren sudah tak lagi diminati oleh banyak orang.”
Saya alumni pesantren dan saya bangga menjadi bagian darinya.
Kemayoran, 08 Agustus 2021.