Muktamar merupakan agenda terpenting di dalam merumuskan persoalan-persoalan pada setiap lima tahun sekali. Muktamar merupakan forum tertinggi organisasi manakala semua tata aturan, peralihan, dan pemilihan bisa dilakukan. Maka, momentum muktamar bukan saja persoalan siapa Rais Aam dan siapa Ketua Umum di organisasi Nahdlatul Ulama (NU), karena hal itu persoalan teknis administrasi. Namun yang lebih penting adalah rumusan-rumusan yang akan dibuat dan dilaksanakan sebelum dan sesudah muktamar dilakukan.
Sumbangan pemikiran K.H. Nasihin Hasan dalam membangun “Sebuah Ekosistem Kebudayaan dalam Melestarikan Kemanusiaan” cukup kiranya menjadi perhatian, baik dalam kerangka konsep maupun tantangan realitas kekinian.
Realitas kekinian bersama kelestarian kemanusiaan bisa dijadikan gambaran tentang titik tolak penempatan manusia dalam menghadapi tantangan-tantangannya. Yang terbaru dan masih berlangsung di dalam menghadapi kenyataan adanya Pandemi Covid-19. Hal ini baik secara langsung atau tidak harus menjadi refleksi bersama.
Memang, membicarakan manusia dan agama di satu sisi menjadi problem yang tidak tuntas-tuntas sehingga diperlukan sebuah lembaga seperti PBB yang mengemban tugas menyelesaikan problem-problem “human right”. Sebagaimana “hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah hak asasi manusia yang terkait dengan aspek sosio-ekonomi dan budaya, seperti hak pendidikan, hak atas perumahan, hak atas standar hidup yang layak, hak kesehatan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya.” Pertanyaan yang kemudian muncul adalah di mana posisi agama dalam kumandang “human right” di antara hak-hak tersebut?
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR) adalah sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 December 1966 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976. Di Indonesia, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya tersebut mulai diratifikasi pada 26 Februari 2006. Hal ini menandakan masih banyak pekerjaan rumah yang belum benar-benar dilaksanakan.
Secara konsep, NU sudah melakukan diplomasi-diplomasi sekala nasional, bahkan internasional dalam hal hak-hak budaya. Berbicara topik pada level budaya, tentu tidak bisa mengabaikan faktor warisan. NU didirikan salah satu tujuan pertamanya adalah melindungi hak-hak budaya umat Islam yang ada di Jazirah Arab, Hijaz. NU mengutus tim khusus yang diberi nama Komite Hijaz untuk melindungi situs-situs sejarah seperti makam Nabi Muhammad Saw dan lain-lain dari upaya-upaya pemusnahan.
Sebetulnya tidak ada hubungan antara situs-situs tersebut dan perliaku keagamaan, karena tata aturan agama bisa dilakukan dan dibuat setiap saat dalam sebuah kesepakatan konstitusi. Namun, dari aspek budaya, situs-situs sejarah telah menyimpan khazanah dan makna yang tak ternilai. Karena eksistensi kesejarahan manusia menjadi sangat penting, terutama dari aspek pengetahuan. Sebagai warisan ini, maka budaya selayak sebagaimana harta pusaka (turats) harus pula dijaga, dipelihara, dan dilestarikan, bahkan bila perlu dikembangkan secara lebih luas.
Secara khazanah, nilai-nilai budaya kaum muslim di Indonesia sangat kaya dan selalu dikumandangkan demikian. Namun, hanya dipandang sebagai tradisi dan ritual. Membuat sebuah ekosistem budaya tentu memerlukan pula pengetahuan yang melibatkan beberapa unsur. Tidak serta berdiri sendiri. Akar-akarnya perlu digali. Dari hasil penggalian tersebut sebuah warisan dapat dihadirkan (hadlarah) secara lebih relevan seperti perdamaian abadi misalnya. Sebuah perdamaian tidak bisa diwujudkan tanpa adanya kesadaran budaya seperti sebab-sebab persaudaraan, sebab-sebab perbedaan, maupun sebab-sebab keyakinan. Demikian, tujuan-tujuan “human right” semakin luas dalam prinsip-prinsip universal antar suku dan bangsa.
NU sementara ini telah menebarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar universal tersebut melalui diplomasi-diplomasi antar agama di Vatikan, diplomasi-diplomasi antar bangsa di Israel dan Iran, bahkan pada level forum tertinggi bangsa-bangsa di dunia, PBB.