Setelah lulus dari Sekolah Teknik Mesin (STM), pria asal Dampit Malang ini tiba-tiba ada keinginan memperdalam al-Quran.
Pada 1994, mondoklah ia di Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng di Jombang, menempati kamar Maqomin Amin (MA) 01 bersama sahabat Khoiron Niam.
Pendidikan pertama di MQ Tebuireng, Gus Aris, panggil saja demikian, masuk Sekolah Persiapan (SP) atau “Shifir al-Ula” dan “Shifir al-Tsani”. Jenjang kelas satu dan dua. Perlu diketahui, SP dulu tidak memandang umur kalau belum siap betul untuk masuk ke jenjang menengah (Tsanawiyah). Santri harus digembleng terlebih dahulu di SP yang sering kami plesetkan dengan sebutan “Sekolah Penerbangan”.
Gus Aris menempuh pendidikan di SP selama 2 tahun. Di bidang pendidikan al-Quran, ia diterima di kelas C9. Pada zaman saya disebut kelas “Naqis”. Ia setor bacaan “binnadhar” kepada Ustadz Samsul Anam dan melanjutkan setoran “bi al-ghaib”-nya kepada Cak Miftahul Huda (Yassalam). Gus Aris terakhir menyetor hafalan al-Qurannya kepada Kyai Tain di Dalem Beliau di Pesantren Tebuireng.
Setahun kemudian di MQ, Gus Aris ikut membantu menangani masalah nutrisi dan logistik santri yang dulu diberi nama Kopgor (Koperasi Gotong Royong) dan belakangan berganti nama menjadi Koperasi Jabo (Jasa Boga).
Bersama karibnya, Mas Yusmianto Ahmad, Gus Aris berjibaku bersama panasnya suasana dapur MQ. “Aku masak 1 kwintal beras ‘gae mangane’ santri MQ yang waktu itu berjumlah 950 orang,” ujarnya, mengenang bersama tim lainnya, berbagi tugas setiap dua hari sekali kerja.
Bagi Gus Aris, kamar MA 01 hanya sebagai tempat persinggahan untuk menyimpan pakain saja. Adapun kalau tidur, ia lebih nyaman di gudang, di atas tumpukan beras.
Aktifitasnya selama di MQ mulai jam 02.00 dini hari. Gus Aris sudah bangun memasak air untuk menanak nasi dengan dandang berukuran jombo, bahkan untuk membolak-balik beras (ngaru) digunakan sekop. Alat yang biasa digunakan untuk mengaduk pasir.
Gus Aris kadang mendapat giliran merajang kangkung sebanyak satu becak untuk ditumis. Tidak heran, para santri pun sering berseloroh: mereka mendapat bonus rumput yang terlewat dari “screening”.
Kegiatan ini dilakukan oleh Gus Aris selama bertahun-tahun mengabdi di MQ, bahkan para ustadz MQ sudah “mafhum” apabila setelah jam istirahat sekolah dia tidak kembali lagi ke kelas, karena kelelahan dan pastinya tertidur di atas tumpukan beras.
Pada 1997, resmilah Gus Aris diwisuda Tahfidh, setelah di antara kesibukannya menghabiskan waktu untuk mengolah makanan dan dihidangkan kepada para santri, termasuk aku.
Pada 1999, ia menikah dengan gadis pujaannya asal Jalan Jepara Surabaya. Ia aktif di masjid Nurul Fatah Jalan Demak, berawal sebagai muazin berlanjut menjadi badal (asisten) imam sholat “rawatib” yang kebetulan sudah uzur dan batuk-batukan.
Setelah sang imam “rawatib” dipanggil keharibaanNya, dikukuhkanlah Gus Aris Sumisdianto menjadi imam tetap sholat “rawatib” Masjid Nurul Fatah sampai sekarang, karena memang suaranya cukup merdu. Selain sebagai imam, ia juga diminta menjadi vocalis grup sholawat.
Setelah jamaah Isya biasanya ia membuka lapak STMJ tepat di depan masjid bersama istrinya. Anaknya lima, empat putri dan satu putra. Anak yang “mbarep” dua minggu yang lalu telah dinikahkannya. Lengkaplah sudah kebahagiannya.
Di acara sholat Dhuha dan pengajian tafsir kontemporer yang diasuh oleh KHA Musta’in Syafi’i tanggal 14 Maret 2021 yang lalu sempat aku tanyakan kepada salah satu pengurus masjid tentang keberadaannnya. Alangkah kagetnya ketika tahu dia sekarang sedang dalam proses penyembuhan penyakit diabetnya yang telah menggrogoti kaki kanannya.
Pagi tadi, aku berkesempatan VC dengannya dan alhamdulillah luka kakinya sudah mulai membaik dan insyaallah besok kontrol untuk kesekian kalinya di salah satu rumah sakit di Jalan Mas Mansur.
Ia berujar kepadaku, “Iki kabeh berkah dadi laden santri MQ Tebuireng lan dungo poro ustadz, masyayikh Tebuireng oleh nikmat seng wes tak rasakno sampek saiki, loroku iki ga onok opo-opone ambek nikmat seng wes tak terima selama iki.”
“Ini semua merupakan berkah jadi pelayan santri MQ Tebuireng dan doa para ustadz, masyayikh Tebuireng, mendapat nikmat yang sudah aku rasakan sampai sekarang, sakitku ini tidak ada apa-apanya daripada nikmat yang telah aku terima selama ini.”
Semoga lekas sembuh kawan dan terus melanjutkan dakwah al-Quran yang sempat terhenti. Allahumma ma’al Quran.