Seni adalah jalan efektif bagi kalangan santri untuk menyentuh kehidupan dan relung hati masyarakat. Seni dipercaya mampu menjadi jembatan antara absurditas perasaan dan agama yang kaku dengan aturan. Seni pula yang dapat menjadi citra kemanusiaan seseorang. Dengan kata lain, melalui seni seseorang dapat memanusiakan manusia.
Jika dikalkulasi, santri-santri yang terjun ke dunia seni tidak kalah banyak jumlahnya. Pada era 1950an, ketika Nahdlatul Ulama (NU) menjadi partai politik, kaum santri membentuk Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) yang menandingi Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA). Tentu, hal ini sempat mengkristal manakala partai-partai politik mulai menjadi sarana dan wahana dalam upaya-upaya mempertahankan kemerdekaan RI.
Memang, dalam perjalanannya, kegiatan berkesenian masyarakat Indonesia turut berperan aktif pada masa awal kemerdekaan, meskipun telah dibelah-belah oleh politik aliran dan tipologi masyarakat menjadi abangan, priyayi, dan santri. Pandangan dan penolakan Chairil Anwar terhadap puisi yang digagas oleh kalangan priyayi cukup menjadi icon. Chairil Anwar menolak dan mempertanyakan adanya sastra kaum “pujangga” yang dipelopori oleh kalangan istana atau priyayi. Chairil tentu tidak sendiri, Manifes Kebudayaan juga menjadi lahan polemik lebih luas hingga akhirnya menyeret kaum santri harus turut terlibat. Polemik di ranah seni dan “kebudayaan” menempati wilayah tersendiri dan mencapai puncaknya pada peristiwa G30S/1965. Tidak sedikit seniman-seniman menjadi korban dan terseret pada wilayah konflik politik aliran tersebut.
Sejarah perjalanan ludruk di Jawa Timur merupakan contoh paling gampang ditemui dari unsur-unsur dan varian-varian yang hidup dan mengakar di masyarakat. Sebagaimana Jawa Timur memiliki dinamika yang sangat kompleks dari percaturan politik aliran. Jawa Timur menjadi ajang terbuka bagi “pertarungan-pertarungan” keragaman politik, seni, dan budaya. Ludruk sebagai media berkesenian masyarakat terbuka dijadikan alat dan sarana dalam mengembangkan dan menyampaikan ide-ide dan propaganda-propaganda.
Ludruk dari kemunculannya mengalami dinamika yang tidak pernah mati hingga sekarang. Keterbukaan ludruk dalam menerima unsur-unsur luar telah menjadikan kian kokoh sebagai karya budaya yang tumbuh dari masyarakat terbuka. Ludruk merupa dari kesenian dari rumah ke rumah sebagai alat mencari nafkah pelaku-pelaku kesenian sebagai pengamen. Kemudian menerima unsur drama tonil ala Belanda, sebagian lagi menerima unsur komedi Stambul yang konon dibawa dari Turki. Komunitas ludruk tampil dalam kehidupan nomaden dari satu ke tempat lain dalam sebuah tobong. Pada masa pergolakan Revolusi Kemerdekaan RI, ludruk menjadi alat mata-mata untuk mengintai musuh. Pun, pada masa setelah merdeka, menjadi media bagi propaganda-propaganda partai politik. Di era kekinian, manakala Ludruk kurang diminati sejalan alat komunikasi yang kian canggih, Ludruk hadir dalam sebuah parikan “stand up” komedi.
Tidak sedikit kaum santri yang kemudian terlibat dalam olah seni di dalam keludrukan, tokoh Asmuni adalah putera dari Asmui, seorang tokoh ludruk di Jombang. Asmui dikenal kemudian sebagai santri Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari mendirikan komunitas gambus di Pesantren Tebuireng. Kemudian, puteranya, Asmuni menjadi pelopor majunya kesenian lawak melalui Srimulat.