Melihat dirinya sekarang mungkin tak tergambar pada puluhan tahun silam di MQ Tebuireng. Ketika itu, ia mungkin pula masih kucel dan “ngantukan”. Tradisi dan ritual santri-santri yang banyak digembleng pada kesibukan yang padat.
Beberapa kali berjumpa dengannya dalam suasana dan kesan yang mendalam. Kalem dan tegas, berwibawa. Tetap hormat pada siapapun, terutama senior dan para kyai. Tumbuh dalam aktivitas yang padat telah melahirkan dirinya sebagai sosok yang dipenuhi oleh garis-garis karakter yang jelas. Begitupun kecerdasannya dalam membuat “jock-jock” ringan. Membuat dirinya cepat akrab pada siapapun.
Sehari-hari, ia bisa ditemui di kantor PBNU hingga larut. Banyak agenda dan tugas yang harus diselesaikan olehnya. Di samping, ia juga rajin menyambangi kegiatan-kegiatan pengajian di masyarakat. Turun gunung ke pelosok-pelosok kampung.
Memang, kehidupan butuh proses. Satu fase sejarah yang tidak bisa diingkari oleh siapapun. Sekecil apapun peran dan kiprahnya di mayapada. Husni tertempa dari latar belakang santri yang ketat pada aturan di MQ Tebuireng. Pendidikan dasarnya dihabiskan di pesantren penghafal al-Quran itu. Setelah selesai mesantren, ia meneruskan pendidikan di perguruan tinggi di Jakarta. Dunia penuh hiruk-pikuk dinamis metropolis. Bersama kawan-kawannya, Husni membangun barisan semangat aktivis kampus.
Dari aktivitas-aktivitasnya yang banal itu, ia tumbuh dan memenangkan seleksi alam. Manakala kawan-kawannya sudah sibuk dengan diri sendiri, Husni masih “stand by” pada konsistensinya. Pada jabatan-jabatan strategis yang dibangun tidak dalam waktu sekejap dan berbiaya murah. Setapak demi setapak, Husni menjadi sosok santri metropolitan dengan hubungan yang “stay humble”. Rendah hati.
Investasi sosial, kalau mau dikatakan demikian. Bergelut bersama sesama secara emansipatori adalah satu-satunya cara untuk membangun emosi, simpati, dan empati. Rumusan-rumusan dari pengalaman yang harus diterjemahkan ke dalam sebuah aksi. Penderitaan-penderitaan pada level bawah harus disuarakan ke dalam kesetaraan yang lebih tinggi. Hal yang sudah jarang dilakukan oleh tokoh-tokoh penting di dalam meraih ambisi dan kekuasaan.
Mewarisi kharisma dari sang ayah sebagai tokoh masyarakat Jakarta, Husni tampil dalam kesederhanaan dan kecerdasan emosional. Untuk merawat warisan non materi yang tidak mudah tanpa adanya spiritual yang juga memadai. Tidak saja pengalaman di pesantren dan kampus, Husni juga membaktikan diri pada level sejati seorang santri, laku. Jika meminjam istilah dari tarekat Naqsyabandiyah, apa yang dilakukan oleh Husni adalah bertapa di tengah keramaian. Dar al-anjuman. Sepi di tengah keramaian metropolitan.
Cirebon, 20 Maret 2021.
Penulis: Goesd
Editor: Goesd