Masuk MQ Tebuireng sekira 1983. Kala itu, ia masih menangi sugengnya Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar, muassis Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng.
Banyak hal yang dapat dipetik dari pengalamannya hidupnya. Mulai dari masa-masa mesantren hingga mengenal dunia aktivis yang penuh rona. Baginya, bermain-main di tengah pusaran itu tidak semudah yang dibayangkan.
Ada tahapan reflektif bagi kalangan aktivis setelah menjalani sebagian besar agenda yang telah dilakukan. Dari tahapan reflektif itu muncullah kesadaran-kesadaran. Kesadaran intelektual utamanya. Tidak sedikit yang menuliskannya ke dalam bentuk buku. Dunia aktivis adalah dunia intelektual aplikatif. Hal yang membedakan antara aktivis dan pekerja lapangan adalah pada wilayah ini. Sama-sama berada di ranah praktis dan pragmatis, namun berbeda dalam hal strategis.
Bang Qodir memiliki jaringan yang luas. Perjuangannya lumayan berdarah-darah. Selama di pesantren, Bang Qodir aktif menekuni bidang dekorasi. Setiap kebutuhan-kebutuhan dekoratif, Bang Qodir pertama yang akan dihubungi. Pernah pada suatu ketika, Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar kedatangan tamu dari Jerman, Bang Qodir harus menyelesaikan satu spanduk dalam waktu semalam. Cukup melelahkan, apalagi jika ada koreksi huruf-huruf yang salah. Namun ada sisi yang menguntungkan juga baginya, Bang Qodir sering mendapat fasilitas di kantor madrasah, terutama kebebasan merokok. Kurang lebih sepuluh tahun, Bang Qodir mesantren di MQ Tebuireng. Pada 1994, ia memutuskan diri untuk melanjutkan kuliah di Jakarta.
Bang Qodir melanjutkan kuliahnya di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Pada masa itu, PTIQ menjadi salah satu perguruan tinggi yang menjadi incaran alumnus-alumnus pesantren al-Qur’an. Dalam bayangan santri-santri al-Qur’an, PTIQ merupakan wadah pengembangan ilmu-ilmu al-Qur’an. Meskipun pada kenyataannya tidak pula berbeda dari program-program yang disediakan oleh Perguruan Tinggi Islam Negeri seperti IAIN atau UIN melalui Fakultas Tafsir dan Hadis. Spesialisasi yang tidak kurang mengecewakan dari sisi kurikulumnya.
Di Jakarta, Bang Qodir aktif bersama intelektual-intelektual muda yang lumayan moncer namanya seperti Ulil Abshar Abdalla. Meskipun Bang Qodir lebih suka pada aksi-aksi di jalan. Ia sering terlibat dalam diskusi-diskusi serius di dunia pergerakan. Pada puncak Reformasi, Bang Qodir terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi dan menghantarkannya masuk ke istana ketika K.H. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI ke-4.
Sebelum kembali ke “khittah” al-Qur’an, Bang Qodir sempat pula menjadi marbot di mesjid. Puncak kesadarannya muncul untuk memuliakan al-Qur’an. Teringat kata-kata gurunya, KHA Musta’in Syafi’i, seorang hafidh tidak pantas menghinakan diri seperti dirinya yang menjadi pembersih WC atau perlengkapan mesjid lainnya. Sejak itu, Bang Qodir menulis buletin lalu disebarkannya di mesjid-mesjid seputar kota Jakarta. Ia menghimpun alumni-alumni pondok pesantren al-Qur’an untuk meraih posisi prestisius sebagai “Hamilul Qur’an”. Seorang penghapal al-Qur’an bagi Bang Qodir harus mendapat posisi terhormat sebagai imam sholat atau khotib Jum’at, bukan pembersih WC atau karpet yang kotor.
Tangerang, 25 Maret 2021.
Penulis: Goesd
Editor: Goesd