“Bapak sempat gundah dengan keturunan laki-lakinya. Empat anak laki-lakinya tidak sampai besar sudah meninggal,” cerita Gus Ulum, mengawali pembicaraan denganku kemarin, ketika aku mengorek cerita tentang Kyai Mustakim. “Bapak kemudian disarankan oleh Kyai Sepuh untuk sering bertawasul ke maqbarah Sunan Giri di Gresik. Tidak berselang lama, Ibu pun mengandung aku,” lanjutnya.
“Sementara kegiatan ke makam Sunan Giri Oleh Abah tidak berhenti dan tambah intens, kadang dilakukan berdua, kadang bersama jamaah Musholla Kedung Rukem. Pernah pada suatu kesempatan ziarah, ibu melihat cahaya terang benderang yang bersumber dari perutnya dan tampak olehnya jabang bayi, yaitu aku. Keanehan itu tak dirasakan atau dilihat oleh orang sekitar.”
Gus Ulum mulai menghafal al-Quran ketika Beliau kelas 5 SD, langsung dalam bimbingan sang ayah, KHM Thohir Efendi, dengan metode Talaqqi. Pada waktu itu, Gus Ulum kecil belum mengetahui huruf-huruf Hijaiyah. Hampir 3 juz, Beliau tetap menghafal dengan metode ini. Untuk selanjutnya, Beliau tiba-tiba sudah bisa membaca al-Quran sendiri.
Pada kesempatan dirinya sowanan ke Tulungagung, Kyai Djalil tiba-tiba memanggil dan mendawuhinya, “Kalau kepingin hafalan al-Quranmu tidak cepat hilang, istiqomahkan menghafal di atas jam 12 malam!” Sejak saat itu, tiap menambah hafalan, Beliau melakukannya saban malam hari.
Saat tiba waktu baiatan Thoriqoh Syadziliah kepada Kyai Djalil, Beliau adalah salah satu peserta yang terkecil di antrara peserta yang lain. Beliau bercerita, ada seorang kyai dari Jember ketika berjabat tangan dengan Kyai Djalil langsung meronta ronta bak kuda liar; ada orang Blitar ketika berjabat tangan tiba-tiba maraung-raung bak macan. Melihat hal itu, Gus Ulum bergedik, takut, atas kejadian yang disaksikannya. Pas tiba gilirannya, Kyai Djalil bilang sambil memegang tangannya, “Loh ga popo, ngene! Lapo wedi?” (Loh tidak apa-apa, sini! Kenapa takut?).
Pada 2003, Kyai Djalil menyarankan kepada Beliau agar segera mencari kerja. Pertama, ia melamar ke Bursa Efek Surabaya (BES) dan langsung diterima dengan gaji lima juta rupiah. Ia menjalaninya selama 10 hari. Sabtu, Beliau sowan ke Tulungagung dan matur kepada Kyai kalau sudah bekerja. Tapi, Kyai kurang berkenan, maka keluarlah Gus Ulum dari BES.
Kemudian, Beliau melamar di sebuah perusahaan asuransi. Di antara yang melamar, Beliau yang paling akhir datang di urutan ke-30. Anehnya, malah Beliau yang pertama dipanggil dan langsung diterima. Tiga hari bekerja, Sabtu kemudian, Beliau sowan lagi ke “ndalem” Tulungagung. Dan, Kyai sama kurang berkenan, Gus Ulum langsung disuruh pulang ke Surabaya.
Sampai di Surabaya Gus Ulum bertemu dengan tetangganya yang bernama Eko. Ia berkerja di Sekolah Al-Falah sebagai Customer Service. Eko bilang akan coba menanyakan kepada pihak yayasan; apakah mau menerima Gus Ulum? Benar saja, keesokan harinya, Gus Ulum dikabari agar datang ke sekolah, ditunggu pihak pengurus yayasan.
Pagi harinya, Beliau datang ke sekolah. Dari pintu gerbang sekolah, Gus Ulum disambut oleh Satpam seperti sudah ditunggu sejak lama kedatangannya. Beliau pun diantar ke ruang yayasan. Semua pengurus yayasan hadir pada waktu itu dan bilang, kalau berkenan mengajar di Al-Falah besok boleh langsung bekerja.
Seperti biasa, Sabtu, Gus Ulum sowan lagi ke “Ndalem Tulungagung” dan Kyai Djalil berkenan, “Yo wes nak kono ae”. (Ya sudah di sana saja).
Kemudahan-kemudahan ini, kata Gus Ulum, berkah dari “sami’na wa atho’na” atas dawuh-dawuh Rama Kyai. Makanya, setiap haul masyayikh di Pondok PETA Tulungagung, Beliau tidak pernah absen untuk ikut semaan Al-Quran Ahad pagi bersama Abah Beliau dan para huffadh sekitaran Tulungagung.
Sehat terus Gus, semoga umurnya tambah berkah dan tetap memberikan warna bagi Huffadh dan warga Surabaya.
Untuk Kyai Mustakim, Kyai Djalil, dan Kyai Thohir, Al Fatihah.